Revolusi Cina
Revolusi dan Nasionalisme Cina – Revolusi Cina yang juga disebut dengan Revolusi Xinhai atau Revolusi 1911 pada 10 Oktober 1911 merupakan peristiwa bersejarah yang sangat penting bagi Cina. Cina merupakan negara yang memiliki sejarah cukup tua. Negara ini diperintah oleh berbagai dinasti. Kepala pemerintahan disebut kaisar. Dinasti terakhir yang berkuasa di Cina adalah Dinasti Manchu yang juga disebut sebagai Dinasti Ching (1644-1912) yang berasal dari Manchuria. Nasionalisme Cina muncul karena Dinasti Manchu dianggap sebagai dinasti asing, karena dinasti ini bukan keturunan asli Cina. Sedangkan kebanyakan penduduk Cina berasal dari Dinasti Han. Oleh karena itu, keberadaan Dinasti Ching sebagai penguasa Cina juga dianggap sebagai dinasti penjajah.
Sementara itu, negara-negara Barat mencari cara untuk bisa memasuki Cina. Hal itu disebabkan selama berabad-abad Cina merupakan negeri yang tertutup bagi bangsa asing yang dianggap lebih rendah perdabannya. Kekecewaan rakyat terhadap Dinasti Manchu semakin memuncak setelah bangsa Inggris berhasil mengalahkan Cina dalam Perang Candu pada tahun 1842. Kaisar dinilai lemah dan bertanggung jawab atas penderitaan rakyat Cina akibat penjajahan bangsa Barat. Revolusi Cina tidak terlepas latar belakang terjadinya revolusi dan peristiwa-peristiwa penting, yaitu Perang Candu, Pemberontakan T’ai P’ing, Pemberontakan Boxer, dan bangkitnya Nasionalisme Cina.
Ketidakmampuan Dinasti Ching dalam menangani berbagai peristiwa-peristiwa lain seperti pemberontakan Boxer di utara Cina, Perang Cina-Jepang Pertama, dan Perang Rusia-Jepang di Manchuria tahun 1904 menjadikan upaya-upaya gerakan Revolusi Cina menemukan momentumnya.
Adapun sebab-sebab terjadinya Revolusi Cina adalah sebagai berikut.
- Lenyapnya kepercayaan rakyat Cina terhadap Dinasti Manchu. Dinasti Manchu pernah menghantarkan kepada kejayaan Cina. Namun setelah kedua kaisar besarnya, yaitu K’ang His dan Ch’ien Lung meninggal, kejayaan Cina semakin menurun dan kemakmuran rakyat Cina juga merosot.
- Pemerintahan Manchu dianggap sebagai pemerintahan yang kolot.
- Adanya korupsi dan pemborosan yang merajalela, terutama di kalangan Istana Manchu
- Kekalahan Cina dalam Perang Cina-Jepang.
- Muncul kaum intelektual Cina. Mereka telah mengenal paham Barat, seperti Liberalisme, nasionalisme, dan demokrasi. Dari kaum intelektual inilah kemudian muncul cita-cita untuk menggulingkan pemerintahan Manchu.
Perang Candu (1839-1842)
Bangsa Barat pertama yang membuka Cina adalah Inggris dengan jalan menyeludupkan Candu. Setelah perdagangan candu merajalela, rakyat menjadi korban dan Inggris untung besar. Maka Kaisar Cina memerintahkan agar candu di berantas. Sehingga gudang candu Inggris di Kanton dibakar habis. Inggris marah dan angkatan lautnya menyerang Nanking.
Cina kalah dalam Perang Candu ini dan harus menandatangani Perjanjian Nanking, 1842 yang isinya sebagai berikut.
- Cina membayar kerugian perang sebesar 21 juta dollar dan dikenakan bunga 5% per tahun jika tidak membayar cicilan per tahun.
- Lima pelabuhan Cina dibuka untuk bangsa asing
- Inggris mendapatkan Hongkong.
- Inggris mendapatkan Hak Ekstra-Territorial yaitu hak untuk hidup dibawah hukum negara asalnya sehingga hukum negara Cina tidak berlaku bagi warga Inggris.
Kekalahan Cina merupakan peristiwa yang memalukan bagi rakyat Cina. Sejak saat itu, perasaan nasionalisme tumbuh dan terus berkembang. Tujuan utama Revolusi Cina adalah untuk mengembalikan kemerdekaan nasional Cina dari bangsa asing.
Pemberontakan T’ai P’ing (1850-1854)
Pemberontakan ini dipimpin oleh Hung Siu Ch’uan. Pada mulanya ia mendapat kemenangan besar. Kota Nanking direbut dan dijadikan ibu kota keajaannya. Hung Siu Ch’uan memproklamasikan dirinya sebagai Raja Kerajaan Sorga Damai Abadi (T’ai P’ing Tin Kuo). Ketika tentara T’ai P’ing menuju Utara mendekati Peking, kedudukan Kaisar terancam, demikian juga dengan bangsa-bangsa asing lainnya. Oleh karena itu bangsa asing membentuk tentara sukarela dibawah pimpinan Jendral Ward dan Jendral Gordon. Mereka bersama tentara Manchu menumpas pemberontak T’ai P’ing. Akhirnya pemberontakan tentara T’ai P’ing dapat dipadamkan.
Pemberontakan Boxers (1900-1901)
Kebencian rakyat Cina terhadap bangsa asing yang memporak-porandakan kehidupan di Cina menimbulkan munculnya gerakan I Hu Tuan (Tinju Keadilan) yang anggota-anggotanya para ahli kung-fu. Oleh karena itu, orang Barat menyebutnya dengan Boxer Rebellion. Ratu Tze Syi, wali Kaisar Kwang Sue, atas anjuran Yuan Shih Kay, membantu gerakan Boxer. Tentara bangsa asing dipimpin Jendral Von Waldersee menindas pemberontakan Boxer dengan kejam. Ratu Tze Syi menyerah dan menanadatangani Boxer Protocol, 1901, yang isinya Cina harus membayar kerugian perang. Pada tahun 1908 Ratu Tze Syi wafat dan digantikan oleh Kaisar Pu Yi yang masih berusia 2 tahun. Ia didampingi oleh Jendral Yuan Shih Kay.
Walaupun pemberontakan demi pemberontakan bisa ditumpas, tapi kondisi dinasti semakin lemah. Kekalahan demi kekalahan yang dialami Dinasti Ching di beberapa kali peperangan bukan hanya memalukan rakyat Cina, namun juga melemahkan pemerintahan Dinasti Ching. Akibat kekalahan dalam Perang Candu II (1856-1860) Dinasti Ching harus menandatangani Perjanjian Tianjin dan harus membayar kerugian perang sebesar 2 juta tael kepada Inggris dan Prancis. Selain itu juga harus membayar 3 juta tael untuk kerugian pedagang Inggris. Ganti rugi terbesar diwajibkan Perjanjian Shimonoseki setelah kekalahan Dinasti Ching dalam Perang Cina-Jepang (1894-1895) yaitu sebesar 340.000.000 tael atau sama dengan 13.600 ton batangan perak.
Bangkitnya Nasionalisme Cina (10-10-1911)
Sementara itu, di Cina Selatan kekecewaan terhadap bangsa dan kepada Dinasti Manchu yang juga dinasti asing semakin luas. Kekecewaan rakyat Cina mencapai puncaknya ketika beberapa pengusaha Cina meminta izin pemerintah Manchu untuk membangun Jalan Kereta Api di Sze-Chwan. Permintaan itu ditolak dan izin diberikan kepada gabungan pengusaha Prancis, Amerika, dan Inggris. Rakyat Tiongkok marah, tanggal 10-10-1911 (Double ten day) meletuslah revolusi di Wuchang (Wuchang Day) yang dipimpin oleh Dr. Sun Yat Sen. Ia memproklamasikan Republik Tiongkok, yang hanya meliputi Cina Selatan dengan ibu kota di Kanton.
Di Utara Kaisar Pu Yi mengangkat Yuan Shih Kay untuk menyelamatkan Dinasti Manchu dari ancaman Republik Cina yang dipimpin oleh Dr. Sun Yat Sen. Dalam perundingan itu Yuan Shih Kay menyatakan bahwa ia bersedia menerima tuntutan tersebut. Demi persatuan Cina, Dr. Sun Yat Sen bersedia menerima tuntutan tersebut. Ia mengundurkan diri sebagai presiden Cina Selatan yang telah digabungkan dengan Cina Utara. Hal ini juga sesuai dengan janji Dr. Sun Yat Sen untuk mengundurkan diri sebagai presiden setelah berakhirnya kekuasaan kekaisaran Cina.
Selanjutnya Dr. Sun Yat Sen mendirikan Partai Nasionalis, Kuo Min Tang, pada tanggal 13 Agustus 1912. Pendirian partai ini dimaksudkan untuk menjaga tetap dilaksanakan ajarannya yang dikenal sebagai San Min Chu I (Nasionalisme, Demokrasi, Sosialisme). San Min Chu I adalah sebuah politik filsafat yang dikembangkan oleh Sun Yat Sen sebagai bagian dari filosofi untuk membuat Cina yang bebas, makmur, dan kuat.
Setelah kekaisaran berhasil digulingkan, situasi di Cina tidak langsung membaik. Negara itu tidak lama kemudian dilanda perang saudara selama bertahun-tahun, yang berujung pada pertikaian dua kubu, yaitu kekuatan Kubu Nasionalis pimpinan Jendral Chiang Kai-sek, dan Kubu Komunis pimpinan Mao Zedong atau Mao Tse Tung. Pada tahun 1949, Kubu Nasionalis akhirnya tersingkir dari Cina Daratan. Mereka lalu pindah ke Pulau Taiwan dengan tetap memakai nama negara Republik Cina. Kubu Komunis pada tanggal 1 Oktober 1949 mendirikan negara baru bernama Republik Rakyat Cina (RRC). Namun, pemerintah dan rakyat RRC, termasuk di Hong Kong dan Makau, tetap merayakan perjuangan tanggal 10 Oktober 1911 itu sebagai Peringatan Revolusi Xinhai. Sedangkan Republik Cina di Taiwan menjadikan tanggal 10 Oktober sebagai hari jadi negara mereka.
Nasionalisme Cina
Setelah mempelajari bahasan ini, kalian akan mengetahui situasi di Cina yang mendorong nasionalisme dan perlawanan menuntut perubahan.
Siapa saja tokoh pergerakan nasionalisme di Cina? Apakah faktor pendorong terjadinya perubahan? Bagaimanakah situasi menjelang pergerakan nasionalisme? Berikut penjelasannya.
Cina adalah sebuah negara besar yang dihuni banyak penduduk dengan bentuk pemerintahan bersifat kekaisaran. Sejak masa peradaban Cina Kuno, wilayah ini diperintah oleh sebuah dinasti yang berganti seiring dengan konfrontasi yang dilakukan untuk mengambil alih kekuasaan. Nasionalisme di Cina mencuat pada masa dinasti terakhir Kekaisaran.
Dinasti Manchu adalah dinasti terakhir yang memerintah di Cina. Dalam pemerintahannya, terjadi penolakan dari rakyat Cina karena mereka menganggap Dinasti Manchu adalah orang asing yang berasal dari Asia Tengah dan bukan dari rakyat Cina sendiri. Kaisar yang pernah memerintah di masa Dinasti Manchu, antara lain, K’ang Hsi (1662–1722) dan Ch’ien Lung (1736–1796).
Berikut adalah beberapa bentuk perlawanan rakyat dan faktor-faktor eksternal lainnya yang mendesak turunnya Dinasti Manchu sebagai pemegang kekuasaan di Cina:
Perang Candu (1839-1842)
Perang timbul dari upaya protes Kekaisaran terhadap aktivitas Inggris yang memasukkan candu ke wilayah Cina tanpa membayar cukai kepada Kekaisaran. Sebagai bentuk perlawanan, Komisioner Cina pada saat itu, Lin Tse Hsu membuang muatan candu Inggris sebanyak 20.000 peti ke laut. Tindakan tersebut menimbulkan kerugian di pihak , sekaligus menyulut perang Cina dengan Inggris yang baru berakhir pada 29 Agustus 1842 dengan kemenangan pihak Inggris.
Kekalahan Cina dalam perang memaksa mereka menyetujui Isi Perjanjian Nanking yang berisi:
- Cina menyerahkan Hongkong kepada Inggris,
- Cina mengganti kerugian perang kepada Inggris, dan
- Lima kota pelabuhan di Cina, (Canton, Amoy, Foochow, Ningpo, serta Shanghai) dibuka untuk perdagangan asing.
Berkurangnya kedaulatan Kekaisaran Cina di negerinya sendiri menimbulkan dampak negatif bagi posisi Dinasti Manchu di dunia internasional dan terlebih di kalangan rakyatnya sendiri. Pemerintahan hanya dianggap sebagai boneka dari imperialis asing. Terlebih pasca perjanjian Nanking, banyak kebijakan kekaisaran yang dinilai pro Barat dengan alasan untuk mencari pemasukan guna menutupi kerugian Inggris dalam Perang Candu. Lambat laun, muncullah gerakan untuk menentang masuknya imperialis Barat dan Dinasti Manchu.
Pemberontakan T’ai Ping
Pemberontakan ini adalah perlawanan yang khusus dilakukan oleh rakyat Cina untuk menggulingkan kekuasaan Dinasti Manchu. Penyebab munculnya pemberontakan ini, antara lain:
- Hilangnya kepercayaan rakyat Cina terhadap Dinasti Manchu, terlebih pasca Perang Candu.
- Pungutan pajak terlalu tinggi untuk menutupi terkurasnya kas Kekaisaran yang dipakai untuk mengganti kerugian perang pihak Inggris.
- Berkembangnya agama Kristen, dengan salah satu pemimpin pemberontakan adalah Hung Hsiu Chuan yang menyebarluaskan ajaran Kristen sekaligus berupaya untuk menggulingkan Kekaisaran yang dinilai sudah tidak berpihak lagi kepada rakyat. Dalam perlawanannya di Nanking, Hung Hsiu Chuan mengangkat dirinya sebagai T’ien Wang (Kaisar Langit) dan kerajaannya dinamakan T’ai Ping Tien Kuo (Kerajaan Surga yang Abadi). Pemberontakan ini akhirnya berhasil dipadamkan oleh Dinasti Manchu pada tahun 1864.
Perang Cina-Jepang (1894-1895)
Perang ini melibatkan dua negara yang berebut wilayah Korea. Semula wilayah Korea adalah jajahan Cina, namun perlahan Jepang mulai menunjukkan ketertarikan terhadap wilayah ini dan memulai perang melawan Cina yang berakhir pada 17 April 1895 dengan kemenangan di pihak Jepang. Pertempuran akhirnya menghasilkan perjanjian pasca perang, ‘Perjanjian Shimonoseki’, yang isinya sebagai berikut:
- Cina mengakui kemerdekaan Korea,
- Penyerahan Kepulauan Pescadores dan Taiwan kepada Jepang, dan
- Cina menyerahkan ganti rugi perang kepada Jepang dengan jumlah yang sudah ditentukan.
Ajaran Sun Yat Sen
Sun Yat Sen adalah salah seorang tokoh nasional Cina dengan pokok ajarannya San Min Chu I (Tiga Asas Kerakyatan), yaitu min t’sen (kebangsaan atau nasionalisme), min tsu (kerakyatan atau demokrasi), dan min sheng (kesejahteraan atau sosialisme). Melalui ajarannya, Sun Yat Sen mencita-citakan sebuah pemerintahan yang demokratis bagi rakyat Cina, persatuan seluruh wilayah Cina, dan sejajarnya rakyat Cina dengan bangsa-bangsa Eropa lainnya setelah runtuhnya Dinasti Manchu.
Perjuangan yang dilakukannya berhasil menghimpun kekuatan massa di Cina bagian Selatan untuk menggulingkan kekuasaan Dinasti Manchu. Perlawanan ini berbentuk revolusi yang berpusat di Wuchang pada 10 Oktober 1911. Revolusi berhasil menggulingkan Dinasti Manchu sekaligus mengantarkan Sun Yat Sen menjadi Presiden pertama Cina dengan wilayah kekuasaan meliputi wilayah Cina Selatan.
Pada 12 Februari 1912, wilayah Cina Utara dengan Kaisar Yuan Shih Kai turut menandatangani perjanjian penyerahan kekuasaan kepada pemerintahan Sun Yat Sen. Beberapa hari berselang, tepatnya 15 Februari 1912, Sun Yat Sen memilih untuk mengundurkan diri sebagai Presiden guna menghindari perang saudara dengan pihak Yuan Shih Kai yang juga berambisi menjadi Presiden. Setelah pengunduran diri itu, Yuan Shih Kai mengambil alih posisi presiden dan memerintah dengan sistem diktator. Pemerintahannya berakhir pada 1916 setelah Yuan Shih Kai meninggal dan Sun Yat Sen kembali berkuasa sebagai Presiden di Cina. Sun Yat Sen digantikan oleh Chiang Kai Sek pada 1925 setelah meninggal dunia.
Dalam pemerintahannya, Chiang Kai Sek menggandeng para intelijen komunis untuk mengalahkan panglima-panglima perang di wilayah kecil Cina. Strategi tersebut berhasil dengan baik. Namun, salah satu perwira intelijen, Mao Zedong, memukul balik pemerintahan dengan menggandeng Uni Soviet untuk mendirikan RRC (Republik Rakyat Cina). Dukungan dari Uni Soviet dan sebagian besar rakyat tidak bisa ditandingi oleh Chiang Kai Sek yang saat itu menerima bantuan dari Amerika Serikat.
Rangkuman
- Ketidakberdayaan Dinasti Mancu menahan serangan bangsa Eropa adalah penyebab pertama munculnya perlawanan rakyat.
- Pemberontakan banyak timbul untuk menggulingkan pemerintahan berkuasa, namun baru menemui titik terang dalam revolusi yang dipimpin oleh Sun Yat Sen.