Kerajaan Islam di Indonesia

By | January 7, 2021
Kerajaan Islam di Indonesia

Kerajaan Islam di Indonesia

Kerajaan Islam di Indonesia

Kerajaan Islam di Indonesia – Setelah mempelajari bahasan ini, kalian akan mengetahui sejarah berdirinya Kerajaan.

Kerajaan Siak Sri Indrapura

Bagaimanakah Kerajaan Siak Sri Indrapura terbentuk? Apa agama yang dianut masyarakat kerajaan? Kejayaan apa yang dimiliki kerajaan ini? Berikut penjelasannya.

Siak Sri Indrapura dimaknai sebagai pusat kota raja yang taat beragama jika diartikan berdasarkan bahasa Sansekerta. Hal ini tidak lepas dari penduduk asli Siak yang umumnya adalah ahli – ahli agama Islam. Nama Siak sendiri merujuk kepada sebuah wilayah di antara Pakistan dan India. Masyarakat Siak dikaitkan dengan bangsa Asii, masyarakat nomaden yang disebutkan dalam sejarah Romawi. Karenanya sampai saat ini masih dijumpai masyarakat terasing di hilir sungai Siak yang disebut sebagai orang Sakai.

Kesultanan Siak Sri Indrapura adalah sebuah kerajaan Melayu Islam yang didirikan di Buantan oleh Raja Kecil dari Pagaruyung yang digelari Sultan Abdul Jalil pada tahun 1723 setelah sebelumnya terlibat dalam perebutan tahta di kerajaan Johor. Kesultanan Siak muncul sebagai kekuatan baru di bidang bahari yang diperhitungkan di pesisir timur Sumatera dan Semenanjung Malaya bahkan ketika masa imperialisme Eropa. Kerajaan ini tercatat memiliki kekuasaan sampai ke wilayah Sambas, Kalimantan Barat dan mengendalikan jalur pelayaran di antara Sumatera dan Kalimantan. Wilayah Siak sendiri sebelumnya diklaim oleh Kerajaan Johor sebagai wilayah kedaulatannya. Namun setelah mufakat dari masyarakat di Bengkalis, didaulatlah Raja Kecil untuk menjadi penguasa Siak sekaligus melepaskan diri dari pengaruh Johor.

Kekuatan Siak Sri Indrapura di bidang bahari menjadi sebuah keuntungan tersendiri karena mereka dapat mengambil keuntungan dengan mengawasi perdagangan di Selat Malaka dengan mengendalikan perompak di kawasan tersebut. Siak lantas menjadi hub perdagangan antara Belanda di Malaka dan Inggris di Pulau Pinang. Dengan klaim sebagai pewaris Johor dan Malaka, Sultan Abdul Jalil melakukan perluasan wilayah. Wilayah pertama yang dimasukkan ke dalam wilayah Kesultanan Siak adalah daerah Rokan dan membangun pertahanan laut di Bintan. Kekuasaan di Bintan tidak berlangsung lama setelah terjadi tekanan untuk Sultan Abdul Jalil agar meninggalkan kawasan ini. Kawasan yang dituju kemudian adalah pesisir timur Sumatera dan beberapa kawasan di Semenanjung Malaya.

Imperialisme yang dilakukan Belanda ke kawasan timur Sumatera adalah salah satu alasan menurunnya kekuasaan kerajaan Siak Sri Indrapura. Lepasnya Kesultanan Deli, Asahan dan Langkat adalah tanda awal semakin terjepitnya kerajaan ini dengan kehadiran Belanda. Terlebih dengan keputusan Belanda mendudukkan raja bonekanya di Pulau Penyengat dan Pulau Lingga untuk mengepung wilayah Kerajaan Siak Sri Indrapura. Belanda akhirnya memaksa Sultan Siak untuk menandatangani perjanjian pada 1 Februari 1781 untuk menjadikan kawasan Siak sebagai bagian dari pemerintahan Belanda. Penandatanganan perjanjian ini menghilangkan kedaulatan Sultan sehingga setiap pengangkatan Sultan harus mendapat persetujuan dari Belanda.

Untuk semakin mempersempit ruang gerak, Belanda mendirikan pos militer di Bengkalis serta melarang Sultan Siak membuat perjanjian dengan pihak asing tanpa persetujuan Residen Riau pemerintahan Hindia-Belanda. Perubahan peta politik atas penguasaan jalur Selat Malaka, kemudian adanya pertikaian internal Siak & persaingan dengan Inggris & Belanda melemahkan pengaruh hegemoni Kesultanan Siak atas wilayah-wilayah yang pernah dikuasainya.Tarik ulur kepentingan kekuatan asing terlihat pada Traktat Sumatera antara pihak Inggris & Belanda sehingga Siak berada pada posisi yang dilematis, berada dlm posisi tawar yang lemah. Kemudian berdasarkan perjanjian, pemerintah Hindia-Belanda memaksa Sultan Siak, untuk menyerahkan wilayah Bengkalis kepada Residen Riau. Namun di tengah tekanan tersebut Kesultanan Siak masih mampu tetap bertahan sampai kemerdekaan Indonesia, walau pada masa pendudukan tentara Jepang sebagian besar kekuatan militer Kesultanan Siak sudah tak berarti lagi.

Sultan terakhir yang dimiliki Kesultanan Siak adalah Sultan Syarif Kasim II, di bawah kepimpinannya Siak Sri Indrapura tetap utuh sampai masa proklamasi kemerdekaan. Seiring dengan kemerdekaan Indonesia, Sultan Syarif Kasim II kemudian menyatakan kerajaannya bergabung dengan negara Republik Indonesia.Pada tahun 1997 Sultan Syarif Kasim II mendapat gelar Kehormatan Kepahlawanan sebagai seorang Pahlawan Nasional Republik Indonesia.

Rangkuman

  • Kerajaan Siak Sri Indrapura didirikan oleh keturunan dari Kerajaan Johor.
  • Masyarakat di kerajaan ini memeluk agama Islam
  • Pemimpin terakhir kerajaan ini adalah Sultan Syarif Kasim II yang menyatakan integrasi dengan Indonesia pasca proklamasi kemerdekaan.

Kerajaan Kampar

Di mana pusat kerajaan Kampar? Kapan agama Islam masuk ke Kampar? Apa proses di balik takluknya kerajaan ini? Berikut penjelasannya.

Setelah mempelajari bahasan ini, kalian akan mengetahui sejarah tentang Kerajaan Kampar.

Kerajaan Kampar adalah sebuah kerajaan yang daerahnya saat ini dinamakan kabupaten Pelalawan. Kerajaan Kampar berada pada jalur yang sangat strategis karena merupakan jalur lintas untuk pengiriman emas dan lada dari Minangkabau. Kampar adalah daerah pertama di Riau yang berhubungan dengan pedagang-pedagang asing dari Cina, India, dan negeri Arab Persia. Kampar adalah daerah penghasil lada terpenting di seluruh dunia dalam periode antara 500-1400 masehi. Zaman dahulu, daerah Kampar dikenal sebagai daerah yang subur dan berperan sebagai gudang penyedia bahan baku lada, rempah-rempah dan hasil hutan. Pelabuhan ekspornya adalah Samudra Pasai, dengan pasar besarnya di Gujarat. Kampar juga adalah wilayah yang strategis sebab terletak terbuka ke Selat Melaka, tanpa dirintangi pegunungan.

Kampar juga adalah tanah yang mula-mula dimasuki Islam yang dibawa oleh para pedagang dan di masa itu baru dianut di kalangan terbatas (pedagang) karena masih kuatnya pengaruh agama Hindu – Budha di masa itu. Ketika pedagang Cina merebut pasaran dagang di Kampar, para pedagang Islam Arab-Persia terdesak sehingga penyebaran Islam sempat terhenti. Para pedagang Arab-Persia-Maroko mulai kembali berdagang di Kampar setelah kerajaan Pasai berdiri, mereka bahkan berhasil memonopoli perdagangan rempah-rempah di Kampar.

Kerajaan Kampar mulanya bercorak agama Hindu dengan raja pertamanya bernama Maharaja Jaya. Berdasarkan legenda, kerajaan ini didirikan oleh Maharaja Dinso.Setelah penaklukan kerajaan Pelalawan oleh Kerajaan Malaka yang dipimpin Tun Mutahir, kerajaan harus menerima instruksi langsung dari Melaka. Kerajaan Malaka menempatkan Sultan Munawarsyah, kakak kandung dari Sultan Mahmudsyah Malaka untuk menjadi Raja Kampar pada tahun 1505. Setelah mangkat, posisinya digantikan oleh putranya Sultan Abdullah. Sultan Abdullah kemudian diangkat menjadi menantu Sultan Mahmudsyah Malaka dengan tujuan untuk merebut kekuasaan di kerajaan Malaka. Strategi pertama dilancarkan ketika pada tahun 1411 Portugis menyerang Malaka dan menetapkan Sultan Mahmudsyah sebagai buronan. Kesempatan ini dipergunakan Sultan Abdullah untuk bersekutu dengan Portugis sehingga kemudian diangkat sebagai bendahara orang – orang asing di Malaka.

Sementara Sultan Mahmudsyah melancarkan perlawanannya dari Bintan melalui Raja Lingga, Kerajaan Kampar yang dipimpin oleh Sultan Abdullah mendapat perlindungan dari armada Portugis yang bahkan membantu pengungsian Sultan Abdullah ke Malaka. Dalam persembunyiannya, Sultan Mahmudsyah menebar berita angin bahwa Sultan Abdullah sedang mempersiapkan pemberontakan kepada Portugis. Akibatnya, Portugis menangkap dan menghukum mati Sultan Abdullah. Sultan Mahmudsyah sendiri terpaksa mengungsi di Bintan sampai akhir hayatnya.

Rangkuman

  • Kerajaan Kampar terletak di daerah Pelalawan, Riau.
  • Kerajaan pertama kali didirikan dengan kepercayaan Hindu namun setelah invasi dari Malaka, agama Islam berkembang di wilayah kerajaan ini.
  • Portugis memiliki andil dalam kejatuhan kerajaan Kampar.

Kerajaan Islam Jambi

Di daerah manakah pusat Kesultanan Jambi? Bagaimanakah corak pemerintahan kesultanan? Bagaimana proses kejatuhan wilayah kerajaan ini? Berikut penjelasannya.

Setelah mempelajari bahasan ini, kalian akan mengetahui sejarah Kesultanan Jambi.

Kesultanan Jambi adalah salah satu kerajaan Islam yang terletak di provinsi Jambi. Wilayah kerajaan ini berbatasan dengan Kerajaan Indragiri dan kerajaan – kerajaan Minangkabau lainnya. Wilayah Jambi dulunya adalah bagian dari Kerajaan Melayu sebelum kemudian menjadi bagian dari kerajaan Sriwijaya. Karenanya di kesultanan Jambi saat itu masih ditemui pengaruh kerajaan Majapahit dan pengaruh Jawa lainnya sampai abad ke – 17 dan ke – 18.

Perkembangan Islam di kesultanan Jambi bersamaan dengan kebangkitan ajaran Islam di wilayah tersebut. Penyebaran Islam di wilayah ini dibantu dengan hubungan dagang yang dilakukan dengan bangsa asing yang singgah di pelabuhan kesultanan yang mencari komoditi utama wilayah ini yaitu lada. Kesultanan Jambi dipimpin oleh raja yang bergelar sultan. Raja ini dipilih dari perwakilan empat keluarga bangsawan yaitu Kraton, Kedipan, Perban dan Raja Empat Puluh. Selain memilih raja keempat suku tersebut juga memilih pangeran ratu, yang mengendalikan jalan pemerintahan sehari-hari. Dalam menjalankan pemerintahannya pangeran ratu dibantu oleh para menteri dan dewan penasihat yang anggotanya berasal dari keluarga bangsawan. Sultan berfungsi sebagai pemersatu dan mewakili negara bagi dunia luar.

Kejayaan kebudayaan Melayu Islam Jambi dimulai masa pemerintahan Sultan Abdul Kahar (1615–1643 M). Pada masa kejayaannya maka kebudayaan Melayu Islam mampu menggantikan posisi kebudayaan Melayu Budhis sebagai kepercayaan di masyarakat. Dalam perkembangannya ternyata pengaruh Islam sangat mendalam tertanam di hati dan jiwa orang Melayu Jambi mencakup segala aspek kehidupan sosial budaya, ekonomi, politik dan pemerintahan, kepercayaan, hukum adat, pendidikan, bahasa, dan adat istiadat. Sultan Abdul Kahar memerintah sampai tahun 1643. Di masanya, Kesultanan Jambi terus mengalami kemajuan. Hal ini disebabkan karena Portugis menguasai Malaka pada tahun 1511 sehingga pelabuhan Jambi adalah pelabuhan terdekat dari Malaka untuk melakukan kegiatan dagangnya.

Menjadi catatan bahwa pada abad ke -16, Jambi adalah pelabuhan terkaya kedua di Sumatera setelah Aceh dan bahkan Johor serta Palembang. Perdagangan lada merupakan komoditas yang sangat menguntungkan. Pada mulanya pihak kesultanan melakukan perdagangan dengan orang-orang Portugis, perusahaan dagang Inggris dan juga Hindia Timur Belanda. Para perusahaan dagang tersebut juga melibatkan orang-orang Cina, Melayu, Bugis dan Jawa. Dari monopoli perdagangan dan bea Impor Ekspor inilah para Sultan Jambi menjadi kaya dan membiayai pemerintahannya. Dengan posisi demikian Jambi ikut berperan aktif dalam hubungan Internasional.

Di tahun 1680-an, kejayaan Jambi mengalami penurunan setelah perang dengan Kesultanan Johor. Akibatnya pada tahun 1903 atas prakarsa Sultan Thaha, Kesultanan Jambi digabungkan dengan Karesidenan Palembang. Namun keadaan ini tidak berlangsung lama setelah karesidenan Palembang akhirnya dibubarkan oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1906. Setelah pembubaran Karesidenan Palembang sekaligus runtuhnya Sriwijaya, berturut – turut Jambi menjadi sasaran ekspansi dari kerajaan – kerajaan lain. Ketika kerajaan Singosari muncul di Jawa, Jambi menjadi daerah taklukan Singosari. Ketika Singosari runtuh dan muncul kemudian Majapahit, Jambi menjadi wilayah taklukan Majapahit. Jambi juga pernah menjadi pusat Kerajaan Swarnabhumi yang didirikan Aditywarman. Ketika pusat kerajaan Adityawarman berpindah ke Pagaruyung, Jambi menjadi bagian dari Kerajaan Minangkabau di Pagaruyung.

Rangkuman

  • Kesultanan Jambi terletak di Pulau Sumatera namun masih kental dengan pengaruh Jawa dan Majapahit di awal berdirnya.
  • Wilayah kesultanan menjadi salah satu pelabuhan penghubung dalam aktivitas dagang antar negara.
  • Menjelang akhir berdirinya, kesultanan ini dilebut dengan wilayah Palembang.

Kesultanan Palembang

Bagaimanakah latar belakang berdirinya kesultanan Palembang? Siapakah tokoh perlawanan kolonial dari kesultanan ini? Berikut penjelasannya

Setelah mempelajari bahasan ini, kalian akan mengetahui sejarah berdirinya Kesultanan Palembang.

Kesultanan Palembang bermula dari seorang tokoh bernama Ario Dillah atau Ario Damar di pertengahan abad ke -15. Beliau diketahui sebagai putera dari Raja Majapahit terakhir dan berkuasa di Palembang Lamo tahun 1455 – 1456. Di saat pemerintahan Ario Damar di Palembang, penduduk dan rakyat Palembang mayoritas sudah memeluk agama Islam. Hal inilah yang kemudian mendorong Ario Damar untuk memeluk agama Islam. Ario Damar menikah dengan seorang putri yang dikirim Raja Majapahit dan kemudian memiliki anak yang diberi nama Raden Fatah.

Setelah bubarnya kerajaan Majapahit akibat desakan kerajaan – kerajaan Islam, Sunan Ngampel mengangkat Raden Fatah menjadi penguasa seluruh Jawa dengan memusatkan kekuasaannya di wilayah Demak setelah hijrah dari tanah Palembang. Di awal abad ke -17, seiring dengan perebutan kekuasaan di Demak, Ki Gede Ing Suro seorang bangsawan dari Kesultanan Demak melarikan diri ke wilayah Palembang dan mendirikan pusat kerajaan Islam disana. Beliau membangun kota kerajaannya dengan bentuk benteng yang kemudian dikenal dengan sebutan ‘Kuto Gawang’. Kota berbenteng ini menghadap ke arah Sungai Musi (ke selatan) dengan pintu masuknya melalui Sungai Rengas. Di sebelah timurnya berbatasan dengan Sungai Taligawe, dan di sebelah baratnya ber¬batasan dengan Sungai Buah. Benteng keraton mempunyai tiga buah baluarti (bastion) yang dibuat dari konstruksi batu. Orang-orang asing bermukim di seberang sungai sisi selatan Musi, di sebelah barat muara sungai Komering.

Terjadi pemindahan lokasi kesultanan setelah Keraton Kuto Gawang dihancurkan VOC tahun 1659, oleh Susuhunan Abdurrahman pusat pemerintahan dipindahkan ke Beringin Janggut yang dibatasi oleh Sungai Musi di selatan, Sungai Tengkuruk di sebelah barat, Sungai Penedan di sebelah utara, dan Sungai Karang Waru di sebelah timur. Suasana geografis ini menunjukkan bahwa aktivitas sehari-hari pada masa itu telah berlangsung di darat agak jauh dari Sungai Musi. Berturut – turut kemudian di sekitar kawasan ini dibangun keraton oleh Sultan – sultan selanjutnya, Kuto Tengkuruk Kawasan inti Keraton Kesultanan Palembang dibangun pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin I kemudian diikuti dengan pembangunan Kuto Besak pada masa pemerintahan Sultan Muhamad Baharudin (1776-1803).

Masa kejayaan Kesultanan Palembang berlangsung di masa pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo (Badaruddin I), sultan ke empat Kesultanan Palembang Darussalam. Ia pernah menggagas pentingnya memperbarui kesultanan dengan mengadopsi pengetahuan dan teknologi yang baru, tanpa meninggalkan tradisi dan agama yang telah mapan. Peninggalan bersejarah yang didirikan di masa pemerintahan Sultan Badaruddin I adalah Masjid Agung, Kuta Batu (Kuta Lama), Makam Lemabang, dan tambang timah Bangka. Kemudian pada masa kekuasaan Sultan Muhammad Bahauddin (Sultan ke enam), juga dikenal sebagai periode pemerintahan Kesultanan Palembang Darussalam yang cukup berhasil. Pada masanya, perekonomian kesultanan meningkat tajam karena Sultan sangat menguasai teknik bagaimana cara berdagang yang bagus. Bahkan menolak dagang dengan VOC, karena ia lebih suka berdagang dengan Inggris, China, dan orang-orang Melayu di Riau.

Sultan Mahmud Badaruddin II adalah Sultan Kesultanan Palembang Darussalam yang banyak menjadi perbincangan, karenapada masa pemerintahannya ia dikenal sebagai sultan yang pemberani dalam melawan kolonialisme Inggris – Belanda. Karena itulah ia memperoleh gelar sebagai pahlawan nasional Indonesia.Dalam masa pemerintahannya, ia beberapa kali memimpin pertempuran melawan Inggris dan Belanda, diantaranya yang disebut Perang Menteng. Tahun 1821, ketika Belanda secara resmi berkuasa di Palembang, Sultan Mahmud Badaruddin II ditangkap dan diasingkan ke Ternate. Sejak timah ditemukan di Bangka pada pertengahan abad ke-18, Palembang dan wilayahnya menjadi incaran Inggris dan Belanda. Untuk menjalin kontrak dagang, bangsa Eropa berniat menguasai Palembang. Awal mula penjajahan bangsa Eropa ditandai dengan penempatan Loji (kantor dagang). Bersamaan dengan adanya kontak antara Inggris dan Palembang, hal yang sama juga dilakukan Belanda. Melalui utusannya Raffles, Inggris berusaha membujuk Sultan untuk mengusir Belanda dari Palembang.

Pertempuran melawan Belanda yang dikenal sebagai Perang Menteng pecah pada 12 Juni 1819. Perang ini merupakan perang paling dahsyat pada waktu itu, di mana korban terbanyak ada pada pihak Belanda. Pertempuran berlanjut hingga keesokan hari, tetapi pertahanan Palembang tetap sulit ditembus, sampai akhirnya pasukan Belanda kembali ke Batavia tanpa membawa kemenangan. Sultan telah memperhitungkan akan ada serangan balik. Karena itu, ia menyiapkan sistem perbentengan yang tangguh. Di beberapa tempat di Sungai Musi, sebelum masuk Palembang, dibuat benteng-benteng pertahanan yang dikomandani keluarga sultan. Pertahanan Palembang runtuh ketika dalam sebuah serangan, De Kock melancarkan serangandi Minggu dini hari. Serangan dadakan ini tentu saja melumpuhkan Palembang, setelah melalui perlawanan yang hebat, tanggal 25 Juni 1821 Palembang jatuh ke tangan Belanda. Kemudian pada 1 Juli 1821 berkibarlah bendera Belanda di Kuto Besak, maka resmilah kolonialisme Hindia Belanda di Palembang. Tanggal 13 Juli 1821, menjelang tengah malam, Sultan Mahmud Badaruddin II beserta keluarganya menaiki kapal Dageraad dengan tujuan Batavia. Dari Batavia Sultan Mahmud Badaruddin II dan keluarganya diasingkan ke Ternate sampai akhir hayatnya 26 September 1852.

Rangkuman

  • Kesultanan Palembang didirikan oleh keturunan terakhir dari Raja Majapahit.
  • Wilayah Kesultanan Palembang memindahkan pusat pemerintahannya beberapa kali.
  • Campur tangan Belanda di wilayah kesultanan ini menjadi faktor runtuhnya pemerintahan.

Kerajaan Minangkabau

Bagaimana proses berdirinya kerajaan Minangkabau dan siapa raja pertama yang memimpin wilayah ini? Bagaimana perkembangan Islam di wilayah ini? Apa pengaruh Perang Paderi pada kerajaan ini? Berikut penjelasannya

Setelah mempelajari bahasan ini, anda akan mengetahui sejarah berdirinya Kerajaan Minangkabau.

Kerajaan Minangkabau atau dikenal dengan nama kerajaan Pagaruyung adalah sebuah Kerajaan Melayu yang daerah kekuasaannya meliputi provinsi Sumatera Barat dan daerah-daerah di sekitarnya. Nama kerajaan ini dirujuk dari Tambo yang ada pada masyarakat Minangkabau. Kerajaan ini disebut didirikan oleh Adityawarman, seorang keturunan raja Majapahit. Meski prasasti yang ditemukan tidak menyebutkan dengan pasti siapa pendiri kerajaan ini, namun dari bukti prasasti diketahui bahwa Adityawarman pernah menjadi raja di wilayah ini. Prasasti Batu Sangkar menyebutkan bahwa Adityawarman digelari Tuhan Surawasa. Dari manuskrip yang dipahat kembali oleh Adityawarman pada bagian belakang Arca Amoghapasa disebutkan pada tahun 1347 Adityawarman memproklamirkan diri menjadi raja di Malayapura, Adityawarman merupaken putra dari Adwayawarman seperti yang terpahat pada Prasasti Kuburajo dan anak dari Dara Jingga, putri dari kerajaan Dharmasraya seperti yang disebut dalam Kitab &Pararaton*. Ia sebelumnya bersama-sama Mahapatih Gajah Mada berperang menaklukkan Bali dan Palembang, pada masa pemerintahannya kemungkinan Adityawarman memindahkan pusat pemerintahannya ke daerah pedalaman Minangkabau.

Di awal berdirinya kerajaan ini, diketahui bahwa agama yang dianut masyarakat adalah Hindu – Buddha. Perkembangan agama tersebut tidak terlepas dari pengiriman Ekspedisi Pamalayu oleh Kertanegara untuk menguasai wilayah Jawa dan Sumatera. Agama Islam sendiri baru berkembang di wilayah kerajaan di akhir abad ke – 14 dengan tidak hanya mengajarkan agama yang baru namun juga sistem kekerabatan patrilineal. Dari Suma Oriental, diketahui bahwa raja ketiga dari Minangkabau telah menjadi seorang muslim. Islam berkembang di wilayah ini melalui kedatangan musafir dan guru agama yang singgah dari Aceh dan Malaka. Salah satu murid ulama Aceh yang terkenal Syaikh Abdurrauf Singkil (Tengku Syiah Kuala), yaitu Syaikh Burhanuddin Ulakan, ialah ulama yang dianggap pertama-tama menyebarkan agama Islam di Pagaruyung. Pada abad ke-17, Kerajaan ini akhirnya berubah menjadi kesultanan Islam. Raja Islam yang pertama disebutkan bernama Sultan Alif. Dengan masuknya agama Islam, maka aturan adat yang bertentangan dengan ajaran agama Islam mulai dihilangkan. Islam juga membawa pengaruh pada sistem pemerintahan kerajaaan Pagaruyung dengan ditambahnya unsur pemerintahan seperti Tuan Kadi dan beberapa istilah lain yang berhubungan dengan Islam .Namun ternyata dalam beberapa hal masih ada beberapa sistem dan cara-cara adat yang masih dipertahankan sehingga mendorong pecahnya perang saudara yang dikenal dengan nama Perang Padri antara Kaum Padri atau kaum Ulama dengan Kaum Adat, sebelum Belanda melibatkan diri dlm peperangan ini.

Pada awal abad ke-19 konflik antara kaum Padri dan kaum Adat membesar. Dalam beberapa perundingan tak ada kata sepakat antara mereka. Seiring itu dibeberapa wilayah negeri bergejolak dengan puncaknya ketika kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang Pagaruyung pada tahun 1815. Karena terdesak kaum Padri, keluarga kerajaan meminta bantuan kepada Belanda. Pada tanggal 10 Februari 1821 Sultan Tangkal Alam Bagagar, yaitu kemenakan dari Sultan Arifin Muningsyah yang berada di Padang, beserta 19 orang pemuka adat lainnya menandatangani perjanjian dengan Belanda untuk bekerjasama dalam melawan kaum Padri setelah sebelumnya juga meminta bantuan tentara kerajaan Inggris melalui Thomas Raffles. Akibat dari perjanjian ini, Belanda menjadikannya sebagai tanda penyerahan kerajaan kepada pemerintah Belanda. Serangan Belanda berhasil merebut kerajaan dari kaum Padri pada tahun 1824. Seiring dengan berlakunya kekuasaan Belanda di wilayah ini, pemerintahan Hindia Belanda membatasi kewenangan dari pihak kerajaan dan bangsawan Minangkabau.

Rangkuman

  • Kerajaan Minangkabau berdiri di wilayah yang sekarang bernama Sumatera Barat.
  • Kerajaan disebut memiliki hubungan dengan Majapahit karena salah satu raja di Minangkabau adalah keturunan dari kerajaan Majapahit.
  • Perang Paderi adalah peristiwa yang menyebabkan lemahnya kekuasaan kerajaan Minangkabau.

Kerajaan Cirebon

Bagaimana peralihan kekuasaan di wilayah Cirebon? Siapa tokoh yang memimpin Cirebon di masa kejayaannya? Apa peninggalan kerajaan ini bagi penyebaran agama Islam? Berikut penjelasannya.

Setelah mempelajari bahasan ini, kalian akan mengetahui sejarah di Kerajaan Cirebon.

Kerajaan Cirebon adalah bagian dari daerah kekuasaan kerajaan Sunda Padjajaran dan bahkan menjadi salah satu kota pelabuhan dari kerajaan tersebut. Kerajaan Cirebon berdiri menjadi sebuah kerajaan utuh ketika pada tahun 1302 kerajaan Sunda Padjajaran membagi wilayah Cirebon menjadi tiga daerah otonomi yang dipimpin oleh Mangkubumi. Tiga daerah otonom tersebut adalah Mertasinga, Pesambangan, dan Japura. Ketiga wilayah otonom ini mengirimkan upeti setiap tahunnya kepada Kerajaan Padjajaran.

Keadaan ini berubah ketika Kerajaan Sunda Padjajaran mengalami konflik dengan Kerajaan Demak. Konflik ini berakibat jatuhnya Cirebon ke wilayah kekuasaan Kerajaan Demak. Di bawah kekuasaan Demak, Cirebon dipimpin oleh Lebe Usa Syarif Hidayatullah atau yang dikenal sebagai Sunan Gunung Jati. Kedatangan Syarif Hidayatullah ini telah berlangsung pada tahun 1470 dengan misi awalnya untuk mengajarkan agama Islam di daerah Cirebon. Di masa kepemimpinannya, Syarif Hidayatullah membangun dan mendirikan sebuah keraton yang diberi nama Keraton Pakung Wati.

Penobatan Syarif Hidayatullah menjadi Tumenggung di Cirebon merupakan era baru bagi Cirebon. Beliaulah yang mengganti nama Cirebon yang dulunya adalah Caruban, dan diganti dengan Cerbon dan terus berkembang menjadi Cirebon. Pada masa Syarif Hidayatullah, Islam berkembang dengan pesat. Latar belakang dari Syarif Hidayatullah juga mendukunguntuk mendapat kepercayaan dari masyarakat. Statusnya sebagai cucu dari Prabu Siliwangi menjadikan kepemimpinannya mudah untuk diterima masyarakat. Di masa pemerintahannya, Syarif Hidayatullah mendapat bantuan dari Pangeran Cakrabuwana.

Konon sebelum penobatannya sebagai Tumenggung, Syarif Hidayatullah dan Pangeran Cakrabuwana telah membicarakan tentang berbagai konsep pembangunan negara serta beberapa rencana operasional. Pada masa itu terjadi penyebaran Islam ke Banten (sekitar 1525-1526) dengan penempatan putra Syarif Hidayatullah , yaitu Maulana Hasanuddin, setelah meruntuhkan pemerintahan Pucuk Unum, penguasa kadipaten dari kerajaan Sunda Pajajaran yang berkedudukan di Banten Girang. Setelah Islam, pusat pemerintahan Maulana Hasanuddin terletak di Surowan dekat muara Cibanten. Syarif Hidayatullah memperluas wilayah dengan penyerangan daerah-daerah kecil untuk menyabarkan Islam. Ini dilakukan supaya Islam dapat tersebar dengan cepat. Upaya ini juga untuk mendapatkan pengaruh yang kuat dari wilayah-wilayah lain di Jawa bagian barat.

Pada suatu ketika Syarif Hidayatullah pergi ke Demak untuk membantu membangun masjid Demak. Syarif Hidayatullah menyumbang tiang masjid yang sekarang dikenal dengan Saka Guru. Ini merupakan salah satu strategi dari Syarif Hidayatullah dalam melakukan hubungan antar kerajaan. Karena pada waktu itu di Demak juga berdiri kerajaan yang besar dibawah pimpinan Raden Patah. Hubungan ini dilakukan supaya eksistensi dari Cirebon dapat terjaga. Setibanya di Cirebon, Syarif Hidayatullah mengadakan rapat yang menghasilkan kebijakan politik, sikap politik kerajaan Cirebon terhadap kerajaan Pajajaran yaitu tidak bersedia lagi mengirim upeti kepada Pajajaran yang disalurkan melalui Adipati Galuh.

Tindakan ini awalnya mendapat respon keras dari Prabu Siliwangi, akan tetapi kemudian Prabu Siliwangi seakan-akan membiarkan keputusan yang diambil oleh Syarif Hidayatullah. Karena Prabu Siliwangi menghindari perang saudara. Di masa kepemimpinan Syarif Hidayatullah bandar Cirebon makin ramai baik untuk berhubungan laut antar Persia-Mesir dan Arab, Cina, Campa dan lainnya. Sunan Gunung Jati wafat pada tahun 1568 dan dimakamkan di Bukit Sembung yang juga dikenal dengan makam Gunung Jati. Kemudian digantikan oleh Panembahan Ratu putra Pangeran Suwarga.

Perpecahan kesultanan Cirebon terjadi setelah lowongnya kekuasaan ketika Panembahan Girilaya wafat. Atas campur tangan kerajaan Banten, diangkat dua penguasa di daerah Cirebon sebagai pemimpin. Hal ini semula dimaksudkan untuk membatasi hubungan Cirebon dengan kerajaan Mataram, namun di kemudian hari ternyata menjadi penyebab buruknya hubungan pemerintahan di kerajaan Cirebon. Perpecahan di kerajaan Cirebon terbagi menjadi dua fase. Fase pertama terjadi di tahun 1677 dengan membagi wilayah kekuasaan kepada tiga orang.

Perpecahan selanjutnya terjadi di tahun 1807 di masa pemerintahan Sultan Anom IV ketika salah seorang putranya ingin memeisahkan diri dan membungan Kesultanan Kacirebonan dengan dukungan dari pemerintahan Kolonial Belanda. Belanda memberi dukungan dengan mengeluarkan surat keputusan atau besluit pada 1807. Sejak saat itu, satu penguasa lagi bertambah di Kerajaan Cirebon. Hal ini menjadi angin segar bagi Belanda yang dengan leluasa ikut campur dalam mengatur kekuasaan di Cirebon. Puncaknya terjadi pada tahun-tahun 1906 & 1926, dimana kekuasaan pemerintahan Kesultanan Cirebon secara resmi dihapuskan dengan disahkannya Gemeente Cheirebon (Kota Cirebon).

Rangkuman

  • Kerajaan Cirebon dulunya adalah bagian dari wilayah kekuasaan Sunda Padjajaran.
  • Syarif Hidayatullah adalah pemimpin pertama Cirebon sejak bertransformasi menjadi sebuah kerajaan.
  • Pembagian wilayah kekuasaan menjadi salah satu penyebab runtuhnya kejayaan kerajaan ini.

Kerajaan Lombok dan Sumbawa

Kapan ajaran Islam berkembang di daerah Nusa Tenggara? Apakah ada peninggalan yang menjelaskan berdirinya kerajaan Islam di wilayah ini? Berikut penjelasannya.

Setelah mempelajari bahasan ini, kalian akan mengetahui berdirinya kerajaan Islam di daerah Lombok dan Sumbawa.

Ajaran Islam diperkirakan berkembang di daerah Nusa Tenggara seperti Lombok dan Sumbawa pada abad ke -16 melalui Sunan Perapen, yang adalah putra dari Sunan Giri. Agama Islam sendiri diperkirakan datang melalui dakwah mubaligh dari Makassar. Penyebaran ajaran Islam ini kemudian berkembang dengan berdirinya salah satu kerajaan Islam, kerajaan Selaparang.

Selaparang disebut sebagai pusat kerajaan Islam di daerah Nusa Tenggara (Lombok dan Sumbawa) dengan pemerintahan yang dipimpin oleh Prabu Rangkesari. Di bawah pemerintahannya, Islam disebarkan ke daerah – daerah seperti Pejanggik, Parwa, Sokong, Bayan dan tempat lainnya. DI bawah kepemimpinannya juga, hubungan dilakukan ke kerajaan – kerajaan Islam di Jawa seperti Kerajaan Demak. Kerajaan Selaparang kerap dihubungkan dengan kerajaan pendahulunya yaitu Kerajaan Desa Lae’ (yang diperkirakan merupakan kerajaan tertua di Lombok) yang kemudian menjadi Kerajaan Pamatan lalu berlanjut ke Kerajaan Suwung hingga menjadi Kerajaan Selaparang. Pendapat lainnya menghubungkan munculnya Kerajaan Selaparang akibat ekspedisi militer dari Kerajaan Majapahit tahun 1357 yang menghancurkan kerajaan-kerajaan di Lombok. Seorang bangsawan istana yang berhasil melarikan diri kemudian berhasil menggabungkan kekuasaan dan membentuk kerajaan baru bernama Batu Parang yang merupakan cikal bakal kerajaan Selaparang.

Pusat pemerintahan kerajaan Selaprang tercatat pernah dipindahkan ke daerah pedalaman, ke sebuah dataran perbukitan. Kebijakan ini diambil untuk memperkuat sektor agraris mereka sekaligus juga meningkatkan pengawasan daerahnya karena dari tempat yang baru tersebut mereka lebih leluasa mengawasi wilayah pantai mereka. Setelah dipindahkan, Kerajaan Selaparang kemudian mengalami kemajuan yang pesat. Kerajaan ini bahkan mengembangkan kekuasaannya hingga ke wilayah Sumbawa bagian barat. Sumbawa bahkan secara berturut-turut menjadi wilayah yang cukup disenangi oleh para raja Selaparang. Pada tahun 1630 Masehi, Sri Dadelanatha, Raja muda Selaparang bahkan dilantik di Sumbawa Barat. Pangeran Pemayaman yang bergelar Pemban Aji Komala, juga dilantik di Sumbawa pada tanggal 30 November 1648 Masehi. Para Sultan Selaparang ini diperkirakan telah memerintah seluruh wilayah Pulau Lombok dan Sumbawa.

Kerajaan Selaparang tergolong kerajaan yang tangguh, laskar lautnya telah berhasil mengusir Belanda yang hendak memasuki wilayah tersebut sekitar tahun 1667-1668 Masehi. Di samping itu, laskar lautnya pernah pula mematahkan serangan yang dilancarkan oleh Kerajaan Gelgel (Bali) dari arah barat. Selaparang pernah dua kali terlibat dalam pertempuran sengit melawan Kerajaan Gelgel, yakni sekitar tahun 1616 dan 1624 Masehi, akan tetapi kedua-duanya dapat ditumpas habis, dan tentara Gelgel dapat ditawan dalam jumlah yang cukup besar pula.

Kerajaan-kerajaan di Nusa Tenggara mengalami tekanan dari VOC setelah terjadinya perjanjian Bongaya pada 18 November 1667. Oleh karena itu pusat Kerajaan Selaparang dipindahkan dari Lombok ke Sumbawa pada 1673 dengan tujuan untuk dapat mempertahankan kedaulatan kerajaan-kerajaan Islam di pulau tersebut dengan dukungan pengaruh kekuasaan Gowa. Sumbawa dipandang lebih strategis daripada pusat pemerintahan di Selaparang mengingat ancaman dan serangan terhadap VOC terus-menerus terjadi. Keruntuhan kerajaan Selaparang terjadi akibat perselisihan dalam kerajaan Selaparang berkenaan dengan perbatasan wilayah kekuasaan. Akibat perselisihan itu, beberapa tokoh penting kerajaan memutuskan untuk meninggalkan Selaparang dan bergabung dengan Kerajaan Mataram Karang Asem (Bali). Kerajaan Mataram Karang Asem kemudian berhasil mendarat di Lombok Barat dan menggempur Kerajaan Selaparang. Pada akhirnya, Kerajaan Selaparang dapat ditaklukan dan Pulau Lombok sepenuhnya berada dibawah kekuasaan kerajaan dari Bali.

Rangkuman

  • Ajaran Islam mulai berkembang di wilayah Nusa Tenggara sejak abad ke -16.
  • Pusat kerajaan Islam di Nusa Tenggara berada di Selaparang, di daerah Lombok.
  • Perjanjian Bongaya yang digagas VOC menjadi dasar pemindahan pusat kerajaan ke daerah Sumbawa.

Kerajaan Bima

Bagaimana proses penemuan wilayah Bima dilakukan? Apa sumber sejarah kerajaan Bima? Kapan ajaran Islam berkembang di wilayah ini? Berikut penjelasannya.

Setelah mempelajari bahasan ini, kalian akan mengetahui bagaimana terbentuknya Kerajaan Bima.

Penjelasan tentang sejarah daerah Bima dapat dikatakan tidak terlalu banyak. Hal ini disebabkan karena kurangnya minat pemerintah Belanda terhadap daerah ini. Selain dikarenakan jaraknya yang terbilang jauh dari daerah Batavia, faktor keamanan dan ketertiban di daerah ini juga dianggap tidak terlalu berpengaruh terhadap kedudukan pemerintahan Belanda secara umum di wilayah Indonesia.

Sejumlah dokumen dalam Bahasa Melayu yang ditulis di Bima diperkirakan antara abad ke -17 sampai abad ke -20 adalah sumber sejarah tentang keberadaan daerah ini. Peneliti mengungkapkan bahwa wilayah ini dulunya sudah memiliki aksara asli yang tidak terpengaruh aksara dari bangsa lain. Prasasti yang ditemukan di sebelah Barat Teluk Bima adalah salah satu bentuk peninggalan bersejarah dari bangsa ini.

Masa kerajaan di Bima dapat dikategorikan ke dalam dua bagian. Bagian pertama adalah masa klasik ketika Sang Bima pertama kali berlabuh di pulau Satonda dan menikahi putri dari daerah tersebut dan memiliki dua orang putra yang menjadi cikal bakal keturunan raja – raja Bima. Sang Bima disebut sebagai seorang bangsawan Jawa yang namanya juga tercatat dalam kitab Negarakertagama, wilayah kekuasaan Majapahit. Kerajaan Bima sendiri berdiri di pertengahan abad 11 Masehi. Dalam perkembangannya, kerajaan mengalami kekacauan setelah terjadi perebutan kekuasaan. Konflik internal ini berakibat dengan kemunduran kerajaan Bima.

Ajaran Islam mulai masuk ke wilayah ini sebagai cikal bakal munculnya sebuah kesultanan melalui beberapa tahapan, yaitu :

  1. Tahap pertama dari Demak sekitar tahun 1540 M
    Pada tahun 1540 M, para mubaligh dan pedagang dari Demak dibawah pimpinan Sunan Prapen yang merupakan putra dari Sunan Giri datang ke Bima dengan tujuan untuk menyiarkan agama Islam. Pada masa itu yang memerintah di kerajaan Bima adalah Sangaji Manggampo Donggo. Usaha yang dilakukan oleh Sunan Prapen kurang berhasil, karena pada tahun 1540 M Demak mengalami kekacauan akibat mangkatnya Sultan Trenggono.
  2. Tahap kedua dari Ternate sekitar tahun 1580 M
    Pada tahun 1580 M, sultan Baab’ullah mengirim para mubaligh dan pedagang untuk menyiarkan agama Islam di Bima. Ketika masa itu kerajaan Bima, yang memerintah adalah sangaji Ma Wa’a Ndapa. Penyiar agama Islam yang dilakukan oleh Ternate, tidak dapat berlangsung lama, sebab di Ternate timbul kesultanan politik, setelah Sultan Bab’ullah mangkat.
  3. Tahap ketiga dari Sulawesi Selatan sekitar tahun 1619 M
    Tahun 1619 Masehi, Sultan Makassar Alauddin awalul Islam mengirim empat orang mubalig dari Luwu, Tallo dan Bone untuk menyiarkan agama Islam di kerajaan Bima. Para mubaligh tersebut berlabuh di Sape dan mereka tidak datang ke istana, karena pada saat itu istana sedang dikuasai oleh Salisi. Pada kedatangannya kali ini, ajaran Islam berhasil diterima masyarakat dan banyak dari bangsawan serta keluarga kerajaan memeluk agama Islam.

Ajaran Islam kemudian membawa empat serangkai dari Bima, Abdul Kahir, Sirajuddin, Awaluddin dan Jalaluddin dibina dan dilatih taktik perang di Makassar. Persiapan ini dilakukan untuk melakukan penyerangan kepada Salisi sebagai penguasa Bima saat itu, Setelah segala persiapan dimatangkan, Sultan Alauddin Makassar mengirim ekspedisi penyerangan terhadap Salisi. Dalam sejarah Bima tercatat dua kali ekspedisi ini dikirim untuk menaklukkan Salisi namun gagal. Pasukan Makassar banyak yang tewas dalam dua ekspedisi ini. Untuk ketiga kalinya pada tahun 1640 M, ekspedisi baru berhasil. Pada tanggal 5 Juli 1640 M, Abdul Kahir berhasil memasuki Istana Bima dan dinobatkan menjadi Sultan Bima pertama yang diberi gelar Ruma ta Ma Bata Wadu. Sedangkan Sirajuddin terus mengejar Salisi hingga ke Dompu. Sirajuddin selanjutnya mendirikan Kesultanan Dompu. Jalaluddin kemudian diangkat menjadi Perdana Menteri pertama dan diberi gelar Manuru Suntu

Tanggal 5 Juli 1640 M menjadi saksi sejarah berdirinya sebuah kesultanan di Nusantara Timur dan Terus berkiprah dalam percaturan sejarah Nusantara selama 322 tahun. Untuk itulah pada setiap tanggal 5 Juli diperingati sebagai hari Jadi Bima. Kesultanan Bima sendiri berakhir ketika Indonesia berhasil meraih Kemerdekaan pada tahun 1945. Saat itu, Sultan Muhammad Salahuddin, raja terakhir Bima, lebih memilih untuk bergabung dengan Negara Kesatuan Indonesia. Siti Maryam, salah seorang Putri Sultan, menyerahkan Bangunan Kerajaan kepada pemerintahan dan kini di jadikan Museum.

Rangkuman

  • Wilayah Bima diberi nama sesuai dengan tokoh yang menemukan wilayah ini.
  • Sebelum masuknya ajaran Islam, kerajaan Bima dipengaruhi oleh unsur Hindu – Buddha.
  • Agama Islam masuk ke wilayah ini dalam tiga fase.
  • Kesultanan Bima tidak mengalami keruntuhan namun bergabung dengan NKRI setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia.

Kerajaan Bone

Kerajaan Bone adalah salah satu kerajaan Islam di Nusantara. Bagaimanakah keberadaan Kerajaan Bone? Berikut penjelasannya.

Setelah mempelajari bahasan ini, kalian diharapkan mampu memahami mengenai keberadaan Kerajaan Bone.

Kesultanan Bone atau sering pula dikenal dengan Akkarungeng ri Bone, merupakan kesultanan yang terletak di Sulawesi bagian barat daya atau tepatnya di daerah Provinsi Sulawesi Selatan sekarang ini. Kesultanan Bone menguasai areal sekitar 2.600 kilometer persegi.

Terbentuknya kerajaan Bone dimulai dengan kedatangan Tomanurung ri Matajang MatasilompoE yang mempersatukan 7 (tujuh) komunitas yang dipimpin oleh Matoa. Manurung ri Matajang menikah dengan Manurung ri Toro melahirkan La Ummasa Petta Panre Bessie sebagai Arumpone (raja) kedua. Saudara perempuannya menikah dengan La Pattikkeng Arung Palakka yang melahirkan La Saliyu Karampelua sebagai Arumpone ketiga. Di masanya, Kerajaan Bone semakin luas berkat keberaniannya.

Perluasan kerajaan Bone ke utara bertemu dengan Kerajaan Luwu yang berkedudukan di Cenrana, muara sungai WalennaE. Terjadi perang antara Arumpone La Tenrisukki dengan Datu Luwu Dewaraja yang berakhir dengan kemenangan Bone dan Perjanjian Damai Polo MalelaE ri Unynyi. Dinamika politik militer di era itu kemudian ditanggapi dengan usulan penasehat kerajaan yaitu Kajao Laliddong pada Arumpone La Tenrirawe BongkangngE yaitu dengan membangun koalisi dengan tetangganya, yaitu Wajo dan Soppeng. Koalisi itu dikenal dengan Perjanjian TellumpoccoE.

Ratu Bone, We Tenrituppu adalah pemimpin Bone pertama yang masuk Islam. Namun Islam diterima secara resmi semasa Arumpone La Tenripale Matinroe ri Tallo Arumpone kedua belas. Sebelumnya, La Tenrirua telah menerima Islam namun ditolak oleh hadat Bone yang disebut Ade Pitue sehingga dia hijrah ke Bantaeng dan meninggal di sana. Ketika Islam diterima secara resmi, maka susunan hadat Bone berubah. Ditambahkan jabatan Parewa Sara (Pejabat Syariat) yaitu Petta KaliE (Qadhi). Namun, posisi Bissu kerajaan tetap dipertahankan.

Bone berada pada puncak kejayaannya setelah Perang Makassar, 1667-1669. Bone menjadi kerajaan paling dominan di jazirah selatan Sulawesi. Perang Makassar mengantarkan La Tenritatta Arung Palakka Sultan Saadudin sebagai penguasa tertinggi. Kemudian diwarisi oleh kemenakannya, yaitu La Patau Matanna Tikka dan Batari Toja. La Patau Matananna Tikka kemudian menjadi leluhur utama aristokrat di Sulawesi Selatan.
Sejak berakhirnya kekuasaan Gowa, Bone menjadi penguasa utama di bawah pengaruh Belanda di Sulawesi Selatan dan sekitarnya pada tahun 1666. Bone berada di bawah kontrol Belanda sampai tahun 1814 ketika Inggris berkuasa sementara di daerah ini, tetapi dikembalikan lagi ke Belanda pada 1816 setelah perjanjian di Eropa akibat kejatuhan Napoleon Bonaparte.

Pengaruh Belanda ini kemudian menyebabkan meningkatnya perlawanan Bone terhadap Belanda, namun Belanda-pun mengirim sekian banyak ekspedisi untuk meredam perlawanan sampai akhirnya Bone menjadi bagian dari Indonesia pada saat proklamasi. Di Bone, para raja bergelar Arumponé.

Rangkuman

  • Kesultanan Bone atau sering pula dikenal dengan Akkarungeng ri Bone, merupakan kesultanan yang terletak di Sulawesi bagian barat daya atau tepatnya di daerah Provinsi Sulawesi Selatan sekarang ini.
  • Terbentuknya kerajaan Bone dimulai dengan kedatangan Tomanurung ri Matajang MatasilompoE yang mempersatukan 7 (tujuh) komunitas yang dipimpin oleh Matoa.

Kerajaan Wajo

Kerajaan Wajo adalah salah satu kerajaan Islam di Nusantara. Bagaimanakah keberadaan Kerajaan Bone? Berikut penjelasannya.

Setelah mempelajari bahasan ini, kalian diharapkan mampu memahami mengenai keberadaan Kerajaan Wajo.

Berita tentang tumbuh dan berkembangnya Kerajaan Wajo terdapat pada sumber hikayat lokal. Di hikayat lokal tersebut ada cerita yang menghubungkan tentang pendirian kampung Wajo yang didirikan oleh tiga orang anak raja dari kampung tetangga Cinnotta’bi yaitu berasal dari keturunan dewa yang mendirikan kampung dan menjadi raja-raja dari ketiga bagian (limpo) bangsa Wajo, Bettempola, Talonlenreng, dan Tua. Kepala keluarga dari mereka menjadi raja di seluruh Wajo dengan gelar Batara Wajo. Batara Wajo yang ketiga dipaksa turun tahta karena kelakuannya yang buruk dan dibunuh oleh tiga orang Ranreng. Menarik perhatian kita bahwa sejak itu raja-raja di Wajo tidak lagi turun-temurun tetapi melalui pemilihan dari seorang keluarga raja menjadi arung-matoa artinya raja yang pertama atau utama.

Selama kekuasaan arung-matoa keempat, dewan pangreh-praja diperluas dengan tiga pa’betelompo (pendukung panji), tiga puluh arung-ma’bicara (raja hakim), dan tiga duta, sehingga jumlah anggota dewan berjumlah 40 orang. Mereka itulah yang memutuskan segala perkara. Kerajaan Wajo memperluas daerah kekuasaannya sehingga menjadi Kerajaan Bugis yang besar. Wajo pernah bersekutu dengan Kerajaan Luwu dan bersatu dengan Kerajaan Bone dan Soppeng dalam perjanjian Tellum Pocco pada 1582.

Wajo pernah ditaklukan Kerajaan Gowa dalam upaya memperluas Islam dan pernah tunduk pada 1610. Di samping itu diceritakan pula dalam hikayat tersebut bahwa bagaimana Dato’ ri Bandang dan Dato’ Sulaeman memberikan pelajaran agama Islam terhadap raja-raja Wajo dan rakyatnya dalam masalah kalam dan fikih. Pada waktu itu di Kerajaan Wajo dilantik pejabat-pejabat agama atau syura dan yang menjadi kadi pertama di Wajo ialah konon seorang wali dengan mukjizatnya ketika berziarah ke Mekkah.

Diceritakan bahwa di Kerajaan Wajo selama 1612 sampai 1679 diperintah oleh sepuluh orang arung-matoa. Persekutuan dengan Gowa pada suatu waktu diperkuat dengan memberikan bantuan dalam peperangan tetapi berulang kali Gowa juga mencampuri urusan pemerintah Kerajaan Wajo. Kerajaan Wajo sering pula membantu Kerajaan Gowa pada peperangan baru dengan Kerajaan Bone pada 1643, 1660, dan 1667. Kerajaan Wajo sendiri pernah ditaklukkan Kerajaan Bone, tetapi karena didesak maka Kerajaan Bone sendiri takluk kepada Kerajaan Gowa-Tallo. Perang besar-besaran antara Kerajaan Gowa-Tallo di bawah Sultan Hasanuddin melawan VOC pimpinan Speelman yang mendapat bantuan dari Aru Palaka dari Bone berakhir dengan Perjanjian Bongaya pada 1667. Sejak itu terjadi penyerahan Kerajaan Gowa pada VOC dan disusul pada 1670 Kerajaan Wajo yang diserang tentara Bone dan VOC sehingga jatuhlah ibukota Kerajaan Wajo yaitu Tosora. Arung-matoa to Sengeng pun gugur. Arung-matoa penggantinya terpaksa menandatangani perjanjian di Makassar tentang penyerahan Kerajaan Wajo kepada VOC.

Rangkuman

  • Berita tentang tumbuh dan berkembangnya Kerajaan Wajo terdapat pada sumber hikayat lokal.
  • Wajo pernah ditaklukan Kerajaan Gowa dalam upaya memperluas Islam dan pernah tunduk pada 1610.

Kerajaan Banjar

Kerajaan Banjar adalah salah satu kerajaan Islam di Nusantara. Bagaimanakah keberadaan Kerajaan Banjar? Berikut penjelasannya.

Setelah mempelajari bahasan ini, kalian diharapkan mampu memahami mengenai keberadaan Kerajaan Banjar.

Kerajaan Banjar (Banjarmasin) terdapat di daerah Kalimantan Selatan yang muncul sejak kerajaan-kerajaan bercorak Hindu yaitu Negara Dipa, Daha, dan Kahuripan yang berpusat di daerah hulu Sungai Nagara di Amuntai. Kerajaan Nagara Dipa masa pemerintahan Putri Jungjung Buih dan patihnya Lembu Amangkurat, pernah mengadakan hubungan dengan Kerajaan Majapahit. Mengingat pengaruh Majapahit sudah sampai di daerah Sungai Nagara, Batang Tabalung, Barito, dan sebagainya tercatat dalam Kiitab Nagarakertagama. Hubungan tersebut juga dibuktikan dalam cerita Hikayat Banjar dan Kronik Banjarmasin. Pada waktu menghadapi peperangan dengan Daha, Raden Samudera minta bantuan Kerajaan Demak sehingga mendapat kemenangan. Sejak itulah Raden Samudera menjadi pemeluk agama Islam dengan gelar Sultan Suryanullah.

Yang mengajarkan agama Islam kepada Raden Samudera dengan patih-patih serta rakyatnya ialah seorang penghulu Demak. Proses Islamisasi di daerah itu, menurut A.A. Cense, terjadi sekitar 1550 M. Sejak pemerintahan Sultan Suryanullah, Kerajaan Banjar atau Banjarmasin meluaskan kekuasaannya sampai Sambas, Batanglawai Sukadana, Kotawaringin, Sampit, Madawi, dan Sambangan. Sebagai tanda daerah takluk biasanya pada waktu-waktu tertentu mengirimkan upeti kepada Sultan Suryanullah sebagai penguasa Kerajaan Banjar. Setelah Sultan Suryanullah wafat, ia digantikan oleh putra tertuanya dengan gelar Sultan Rahmatullah. Ketika menjabat sebagai raja, ia masih mengirimkan upeti ke Demak, yang pada waktu itusudah menjadi Kerajaan Pajang.

Setelah Sultan Rahmatullah, yang memerintah Kerajaan Banjarmasin ialah seorang putranya yang bergelar Sultan Hidayatullah. Pengganti Sultan Hidayatullah ialah Sultan Marhum Panambahan atau dikenal dengan gelar Sultan Mustain Billah yang pada masa pemerintahannya berupaya memindahkan ibu kota kerajaan ke Amuntai. Ketika memerintah pada awal abad ke-17, Sultan Mustain Billah ditakuti oleh kerajaan-kerajaan sekitarnya dan ia dapat menghimpun lebih kurang 50.000 prajurit. Demikian kuatnya Kerajaan Banjar sehingga dapat membendung pengaruh politik dari Tuban, Arosbaya, dan Mataram, di samping menguasai daerah-daerah kerajaan di Kalimantan Timur, Tenggara, Tengah, dan Barat.

Pada abad ke-17 di Kerajaan Banjar ada seorang ulama besar yang bernama Muhammad Arsyad ibn Abdullah al-Banjari (1710-1812) lahir di Martapura. Atas biaya kesultanan masa Sultan Tahlil Allah (1700-1745) pergi belajar ke Haramayn selama beberapa tahun. Sekembalinya dari Haramayn ia mengajarkan fikih atau syariah, dengan kitabnya Sabîl al-Muhtadîn. Ia ahli di bidang tasawuf dengan karyanya Khaz al-Ma’rifah. Mengenai riwayat, ajaran dan guru-guru serta kitab-kitab hasil karyanya secara panjang lebar telah dibicarakan oleh Azyumardi Azara dalam Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII.

Sejak wafatnya Sultan Adam, pada 1 November 1857, pergantian sultan-sultan mulai dicampuri oleh kepentingan politik Belanda sehingga terjadi pertentangan-pertentangan antara keluarga raja, terlebih setelah dihapuskannya Kerajaan Banjar oleh Belanda. Perlawanan-perlawanan terhadap Belanda itu terus-menerus dilakukan terutama antara tahun 1859-1863, antara lain oleh Pangeran Antasari, Pangeran Demang Leman, Haji Nasrun dan lainnya. Perlawanan terhadap penjajah Belanda itu sebenarnya terus dilakukan sampai tahun-tahun selanjutnya.

Rangkuman

  • Kerajaan Banjar (Banjarmasin) terdapat di daerah Kalimantan Selatan yang muncul sejak kerajaan-kerajaan bercorak Hindu.
  • Perlawanan terhadap penjajah Belanda itu sebenarnya terus dilakukan sampai tahun-tahun selanjutnya.

Kerajaan Kutai Kertanegara Ing Martadipura

Kerajaan Kutai Kertanegara Ing Martadipura adalah salah satu kerajaan Islam di Nusantara. Bagaimanakah keberadaan Kerajaan Kutai Kertanegara Ing Martadipura? Berikut penjelasannya.

Setelah mempelajari bahasan ini, kalian diharapkan mampu memahami mengenai keberadaan Kerajaan Kutai Kertanegara Ing Martadipura.

Kerajaan Kutai Kartanegara berdiri pada awal abad ke-13 di daerah yang bernama Tepian Batu atau Kutai Lama (kini menjadi sebuah desa di wilayah Kecamatan Anggana) dengan rajanya yang pertama yakni Aji Batara Agung Dewa Sakti (1300-1325). Kerajaan ini disebut dengan nama Kerajaan Tanjung Kute dalam Kakawin Nagarakertagama (1365), yaitu salah satu daerah taklukan di negara bagian Pulau Tanjungnagara oleh Patih Gajah Mada dari Majapahit.

Pada abad ke-16, Kerajaan Kutai Kartanegara di bawah pimpinan Raja Aji Pangeran Sinum Panji Mendapa berhasil menaklukkan Kerajaan Kutai yang terletak di Muara Kaman. Raja Kutai Kartanegara pun kemudian menamakan kerajaannya menjadi Kerajaan Kutai Kartanegara Ing Martadipura sebagai peleburan antara dua kerajaan tersebut.

Pada abad ke-17, agama Islam yang disebarkan Tuan Tunggang Parangan diterima dengan baik oleh Kerajaan Kutai Kartanegara yang saat itu dipimpin Aji Raja Mahkota Mulia Alam. Setelah beberapa puluh tahun, sebutan Raja diganti dengan sebutan Sultan. Sultan Aji Muhammad Idris (1735-1778) merupakan sultan Kutai Kartanegara pertama yang menggunakan nama Islami. Dan kemudian sebutan kerajaan pun berganti menjadi Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura.

Menurut Hikayat Banjar dan Kotawaringin (1663), negeri Kutai merupakan salah satu tanah di atas angin (sebelah utara) yang mengirim upeti kepada Maharaja Suryanata, raja Banjar-Hindu (Negara Dipa) pada abad ke-14 hingga kerajaan ini digantikan oleh Kesultanan Banjar. Sekitar tahun 1620 Kutai berada di bawah pengaruh Kesultanan Makassar. Perjanjian VOC dan Kesultanan Banjar tahun 1635 menyebutkan VOC membantu Banjar untuk menaklukan Paser dan Kutai kembali.

Dengan demikian sejak tahun 1636, Kutai diklaim oleh Kesultanan Banjar sebagai salah satu wilayahnya karena Banjarmasin sudah memiliki kekuatan militer yang memadai untuk menghadapi serangan Kesultanan Mataram yang berambisi menaklukan seluruh Kalimantan dan sudah menduduki wilayah Sukadana (1622). Sebelumnya Banjarmasin merupakan taklukan Kesultanan Demak (penerus Majapahit), tetapi semenjak runtuhnya Demak (1548), Banjarmasin tidak lagi mengirim upeti kepada pemerintahan di Jawa.

Sekitar tahun 1638 (sebelum Perjanjian Bungaya) Sultan Makassar (Gowa-Tallo) meminjam Pasir serta Kutai, Berau dan Karasikan (Kepulauan Sulu/Banjar Kulan) sebagai tempat berdagang kepada Sultan Banjar IV Mustain Billah/Marhum Panembahan dan berjanji tidak akan menyerang Banjarmasin. Hal tersebut terjadi ketika Kiai Martasura diutus ke Makassar dan mengadakan perjanjian dengan I Mangadacinna Daeng Sitaba Karaeng Pattingalloang Sultan Mahmud yaitu Raja Tallo yang menjabat mangkubumi bagi Sultan Malikussaid Raja Gowa tahun 1638-1654.

Tahun 1747, VOC Belanda mengakui Pangeran Tamjidullah I sebagai Sultan Banjar padahal yang sebenarnya dia hanyalah Mangkubumi. Pada 1765, VOC Belanda berjanji membantu Sultan Tamjidullah I yang pro VOC Belanda untuk menaklukan kembali daerah-daerah yang memisahkan diri diantaranya Kutai berdasarkan perjanjian 20 Oktober 1756, karena VOC bermaksud menyatukan daerah-daerah di Kalimantan sebagai daerah pengaruh VOC. Padahal Kutai di bawah pengaruh La Maddukelleng (raja Wajo) yang anti VOC. Pangeran Amir, pewaris mahkota Kesultanan Banjar yang sah dibantu pamannya – Arung Turawe (kelompok anti VOC) berusaha merebut tahta tetapi mengalami kegagalan.

Pada 13 Agustus 1787, Sultan Banjar Sunan Nata Alam membuat perjanjian dengan VOC yang menjadikan Kesultanan Banjar sebagai daerah protektorat VOC, sedangkan daerah-daerah lainnya di Kalimantan yang dahulu kala pada abad ke-17 pernah menjadi taklukan Banjarmasin diserahkan secara sepihak sebagai properti VOC Belanda. Tahun 1778 Landak dan Sukadana (sebagian besar Kalbar) telah diperoleh VOC dari Sultan Banten. Pada 9 September 1809 VOC meninggalkan Banjarmasin (kota Tatas) dan menyerahkan benteng Tatas dan benteng Tabanio kepada Sultan Banjar yang ditukar dengan intan 26 karat.

Kemudian wilayah Hindia-Belanda diserahkan kepada Inggris karena Belanda kalah dalam peperangan, Alexander Hare menjadi wakil Inggris di Banjarmasin sejak 1812. Tanggal 1 Januari 1817 Inggris menyerahkan kembali wilayah Hindia Belanda termasuk Banjarmasin dan daerah-daerahnya kepada Belanda dan kemudian Belanda memperbaharui perjanjian dengan Sultan Banjar Negeri Kutai diserahkan sebagai daerah pendudukan Hindia Belanda dalam Kontrak Persetujuan Karang Intan I pada 1 Januari 1817 antara Sultan Sulaiman dari Banjar dengan Hindia Belanda diwakili Residen Aernout van Boekholzt. Perjanjian berikutnya pada tahun 1823, negeri Kutai diserahkan menjadi daerah pendudukan Hindia Belanda dalam Kontrak Persetujuan Karang Intan II pada 13 September 1823 antara Sultan Sulaiman dari Banjar dengan Hindia Belanda diwakili Residen Mr. Tobias.

Secara hukum Kutai dianggap negara bagian di dalam negara Banjar. Negeri Kutai ditegaskan kembali termasuk daerah-daerah pendudukan Hindia Belanda di Kalimantan menurut Perjanjian Sultan Adam al-Watsiq Billah dengan Hindia Belanda yang ditandatangani dalam loji Belanda di Banjarmasin pada tanggal 4 Mei 1826.

Rangkuman

  • Kerajaan Kutai Kartanegara berdiri pada awal abad ke-13 di daerah yang bernama Tepian Batu atau Kutai Lama (kini menjadi sebuah desa di wilayah Kecamatan Anggana) dengan rajanya yang pertama yakni Aji Batara Agung Dewa Sakti (1300-1325).
  • Kerajaan Kutai Kartanegara disebut dengan nama Kerajaan Tanjung Kute dalam Kakawin Nagarakretagama (1365), yaitu salah satu daerah taklukan di negara bagian Pulau Tanjungnagara oleh Patih Gajah Mada dari Majapahit.

Kerajaan Pontianak

Kerajaan Pontianak adalah salah satu kerajaan Islam di Nusantara. Bagaimanakah keberadaan Kerajaan Pontianak? Berikut penjelasannya.

Setelah mempelajari bahasan ini, kalian diharapkan mampu memahami mengenai keberadaan Kerajaan Pontianak.

Kerajaan-kerajaan yang terletak di daerah Kalimantan Barat, antara lain, Tanjungpura dan Lawe. Kedua kerajaan tersebut pernah diberitakan Tome Pires (1512-1551). Tanjungpura dan Lawe menurut berita musafir Portugis sudah mempunyai kegiatan dalam perdagangan baik dengan Malaka dan Jawa, bahkan kedua daerah yang diperintah oleh Pate atau mungkin adipati kesemuanya tunduk kepada kerajaan di Jawa yang diperintah Pati Unus. Tanjungpura dan Lawe (daerah Sukadana) menghasilkan komoditi seperti emas, berlian, padi, dan banyak bahan makanan. Banyak barang dagangan dari Malaka yang dimasukkan ke daerah itu, demikian pula jenis pakaian dari Bengal dan Keling yang berwarna merah dan hitam dengan harga yang mahal dan yang murah. Pada abad ke-17, kedua kerajaan itu telah berada di bawah pengaruh kekuasaan Kerajaan Mataram terutama dalam upaya perluasan politik dalam menghadapi ekspansi politik VOC.

Demikian pula Kotawaringin yang kini sudah termasuk wilayah Kalimantan Barat pada masa Kerajaan Banjar juga sudah masuk dalam pengaruh Mataram, sekurang-kurangnya sejak abad ke-16. Meskipun kita tidak mengetahui dengan pasti kehadiran Islam di Pontianak, konon ada pemberitaan bahwa sekitar abad ke-18 atau tahun 1720, ada rombongan pendakwah dari Tarim (Hadramaut) yang di antaranya datang ke daerah Kalimantan Barat untuk mengajarkan membaca Al-Qur’an, ilmu fikih, dan ilmu hadis. Mereka di antaranya Syarif Idrus bersama anak buahnya pergi ke Mampawah, tetapi kemudian menelusuri sungai ke arah laut memasuki Kapuas Kecil sampailah ke suatu tempat yang menjadi cikal bakal kota Pontianak. Syarif Idrus kemudian diangkat menjadi pimpinan utama masyarakat di tempat itu dengan gelar Syarif Idrus ibn Abdurrahman al-Aydrus yang kemudian memindahkan kota dengan pembuatan benteng atau kubu dari kayu-kayuan untuk pertahanan. Sejak itu Syarif Idrus ibn Abdurrahman al-Aydrus dikenal sebagai Raja Kubu. Daerah itu mengalami kemajuan di bidang perdagangan dan keagamaan, sehingga banyak para pedagang yang berdatangan dari berbagai negeri.

Pemerintahan Syarif Idrus (Syarif Idrus al-Aydrus ibn Abdurrahman ibn Ali ibn Hassan ibn Alwi ibn Abdullah ibn Ahmad ibn Husin ibn Abdullah al-Aydrus) memerintah pada tahun 1779-1789. Cerita lainnya mengatakan bahwa pendakwah dari Tarim (Hadramaut) yang mengajarkan Islam dan datang ke Kalimantan bagian barat terutama ke Sukadana ialah Habib Husin al-Gadri. Ia semula singgah di Aceh dan kemudian ke Jawa sampai di Semarang. Di tempat itulah ia bertemu dengan pedagang Arab bernama Syaikh, karena itulah maka Habib Husin al-Gadri berlayar ke Sukadana. Kesaktiannya menyebabkan ia mendapat banyak simpati dari Sultan Matan dan rakyat. Kemudian Habib Husin al-Gadri pindah dari Matan ke Mempawah untuk meneruskan syiar Islam. Setelah wafat ia diganti oleh salah seorang putranya yang bernama Pangeran Sayid Abdurrahman Nurul Alam. Ia pergi dengan sejumlah rakyatnya ke tempat yang kemudian dinamakan Pontianak dan di tempat inilah ia mendirikan keraton dan masjid agung.

Pemerintahan Syarif Abdurrahman Nur Alam ibn Habib Husin al-Gadri pada 1773-1808, digantikan oleh Syarif Kasim ibn Abdurrahman al-Gadri pada 1808-1828 dan selanjutnya Kesultanan Pontianak di bawah pemerintahan sultan-sultan keluarga Habib Husin al-Gadri.

Rangkuman

  • Kerajaan-kerajaan yang terletak di daerah Kalimantan Barat, antara lain, Tanjungpura dan Lawe.
  • Kedua kerajaan tersebut pernah diberitakan Tome Pires (1512-1551).

Kerajaan Islam di Papua

Di Papua pun terdapat kerajaan Islam Nusantara. Bagaimanakah keberadaan Kerajaan Islam di Papua? Berikut penjelasannya.

Setelah mempelajari bahasan ini, kalian diharapkan mampu memahami mengenai keberadaan Kerajaan Islam di Papua.

Sumber-sumber sejarah menunjukkan bahwa penyebaran Islam di Papua sudah berlangsung sejak lama. Bahkan, berdasarkan bukti sejarah terdapat sejumlah kerajaan-kerajaan Islam di Papua, yakni Kerajaan Waigeo, Kerajaan Misool, Kerajaan Salawati, Kerajaan Sailolof, Kerajaan Fatagar, Kerajaan Rumbati (terdiri dari Kerajaan Atiati, Sekar, Patipi, Arguni, dan Wertuar), Kerajaan Kowiai (Namatota), Kerajaan Aiduma, dan Kerajaan Kaimana.

Berdasarkan sumber tradisi lisan dari keturunan raja-raja di Raja Ampat-Sorong, Fakfak, Kaimana dan Teluk Bintuni-Manokwari, Islam sudah lebih awal datang ke daerah ini. Ada beberapa pendapat mengenai kedatangan Islam di Papua. Pertama, Islam datang di Papua tahun 1360 yang disebarkan oleh mubaligh asal Aceh, Abdul Ghafar. Pendapat ini juga berasal dari sumber lisan yang disampaikan oleh putra bungsu Raja Rumbati ke-16 (Muhamad Sidik Bauw) dan Raja Rumbati ke-17 (H. Ismail Samali Bauw). Abdul Ghafar berdakwah selama 14 tahun (1360-1374) di Rumbati dan sekitarnya. Ia kemudian wafat dan dimakamkan di belakang masjid kampung Rumbati tahun 1374.

Kedua, pendapat yang menjelaskan bahwa agama Islam pertama kali mulai diperkenalkan di tanah Papua, tepatnya di jazirah Onin (Patimunin-Fakfak) oleh seorang sufi bernama Syarif Muaz al-Qathan dengan gelar Syekh Jubah Biru dari negeri Arab. Pengislaman ini diperkirakan terjadi pada abad pertengahan abad ke-16, dengan bukti adanya Masjid Tunasgain yang berumur sekitar 400 tahun atau dibangun sekitar tahun 1587. Ketiga, pendapat yang mengatakan bahwa Islamisasi di Papua, khususnya di Fakfak dikembangkan oleh pedagang-pedagang Bugis melalui Banda dan Seram Timur oleh seorang pedagang dari Arab bernama Haweten Attamimi yang telah lama menetap di Ambon. Proses pengislamannya dilakukan dengan cara khitanan. Di bawah ancaman penduduk setempat jika orang yang disunat mati, kedua mubaligh akan dibunuh, namun akhirnya mereka berhasil dalam khitanan tersebut kemudian penduduk setempat berduyun-duyun masuk agama Islam.

Keempat, pendapat yang mengatakan Islam di Papua berasal dari Bacan. Pada masa pemerintahan Sultan Mohammad al-Bakir, Kesultanan Bacan mencanangkan syiar Islam ke seluruh penjuru negeri, seperti Sulawesi, Fiilipina, Kalimantan, Nusa Tenggara, Jawa dan Papua. Menurut Thomas Arnold, Raja Bacan yang pertama kali masuk Islam adalah Zainal Abidin yang memerintah tahun 1521. Pada masa ini Bacan telah menguasai suku-suku di Papua serta pulau-pulau di sebelah barat lautnya, seperti Waigeo, Misool, Waigama, dan Salawati. Sultan Bacan kemudian meluaskan kekuasaannya hingga ke semenanjung Onin Fakfak, di barat laut Papua tahun 1606. Melalui pengaruhnya dan para pedagang muslim, para pemuka masyarakat di pulau-pulau kecil itu lalu memeluk agama Islam. Meskipun pesisir menganut agama Islam,sebagian besar penduduk asli di pedalaman masih tetap menganut animisme.

Kelima, pendapat yang mengatakan bahwa Islam di Papua berasal dari Maluku Utara (Ternate-Tidore). Sumber sejarah Kesultanan Tidore menyebutkan bahwa pada tahun 1443 Sultan Ibnu Mansur (Sultan Tidore X atau Sultan Papua I) memimpin ekspedisi ke daratan tanah besar (Papua). Setelah tiba di wilayah Pulau Misool dan Raja Ampat, kemudian Sultan Ibnu Mansur mengangkat Kaicil Patrawar putera Sultan Bacan dengan gelar Komalo Gurabesi (Kapita Gurabesi). Kapita Gurabesi kemudian dikawinkan dengan putri Sultan Ibnu Mansur bernama Boki Tayyibah. Kemudian berdiri empat kerajaan di Kepulauan Raja Ampat tersebut, yakni Kerajaan Salawati, Kerajaan Misool atau Kerajaan Sailolof, Kerajaan Batanta, dan Kerajaan Waigeo.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa proses Islamisasi tanah Papua, terutama di daerah pesisir barat pada pertengahan abad ke-15, dipengaruhi oleh kerajaan-kerajaan Islam di Maluku (Bacan, Ternate dan Tidore). Hal ini didukung karena faktor letaknya yang strategis, yang merupakan jalur perdagangan rempah-rempah (silk road) di dunia.

Rangkuman

  • Proses Islamisasi tanah Papua, terutama di daerah pesisir barat pada pertengahan abad ke-15, dipengaruhi oleh kerajaan-kerajaan Islam di Maluku (Bacan, Ternate dan Tidore).
  • Hal ini didukung karena faktor letaknya yang strategis, yang merupakan jalur perdagangan rempah-rempah (silk road) di dunia.

Kerajaan Perlak

Bagaimanakah berdirinya Kerajaan Perlak sebagai Kerajaan Islam pertama di Nusantara? Bagaimanakah hubungan dinasti di Mesir dengan Kerajaan Perlak di Aceh? Berikut penjelasannya.

Setelah mempelajari bahasan ini, kalian akan memahami sejarah keberadaan Kerajaan Perlak di Aceh.

Kerajaan Islam di Indonesia berkembang pesat setelah era perkembangan Kerajaan Hindu-Buddha. Banyaknya kontak dagang di Nusantara yang melibatkan pedagang-pedagang dari Persia, India, dan Arab adalah salah satu faktor yang mendukung menyebar luasnya ajaran Islam di Indonesia. Berbeda dengan ajaran Islam yang pertama kali masuk di Indonesia melalui Pulau Jawa, maka Kerajaan Islam pertama di Indonesia justru muncul pertama kali di Aceh.

Kerajaan Perlak adalah Kerajaan Islam pertama di Indonesia. Berdiri pada tahun 840-1292, Kerajaan Perlak berkembang lebih dahulu daripada Kerajaan Samudera Pasai yang sama-sama berlokasi di Aceh. Raja pertama Kerajaan Perlak adalah Sultan Alaidi Syed Maulana Abdul Azis Syah.

Kerajaan Perlak bermula dari negeri Perlak yang didatangi oleh Nakhoda Khalifah. Kedatangan mereka ditujukan untuk melakukan kegiatan dagang dan menyebarkan agama Islam. Pemimpin dan penduduk negeri Perlak kemudian meninggalkan agama lama mereka untuk berpindah ke agama Islam. Melalui perkawinan campuran dengan penduduk setempat, maka lahirlah pendiri dari Kerajaan Perlak.

Sebagai bentuk penghargaan kepada Nakhoda Khalifah, maka Sultan Alaidi Syed mengubah nama ibukota kerajaan dari semula bernama Bandar Perlak menjadi Bandar Khalifah. Sultan Alaidi Syed sendiri beraliran Syiah yang banyak disebarkan oleh para pedagang dari Gujarat, Arab, dan Persia. Keberadaan kerajaan ini sempat mendapatkan ancaman dari Dinasti Mamuluk, Kerajaan Mesir, dengan penyerangan ke pantai timur Sumatera untuk melenyapkan pengikut Syiah di Kesultanan Perlak dan Kerajaan Samudera Pasai.

Pada masa pemerintahan sultan ketiga, Sultan Alaiddin Syed Maulanan Abbas Shah, aliran Islam Sunni mulai masuk ke Perlak. Setelah wafatnya Sultan, terjadi perang saudara antara kaum Syiah dan Sunni yang berakibat kosongnya jabatan Sultan selama 2 tahun. Peperangan dimenangkan oleh kaum Syiah dan memberikan tahta kerajaan kepada Sultan Alaiddin Syed Maulan sebagai pemimpin baru kerajaan. Pada akhir pemerintahan Sultan, kembali terjadi pertempuran antara kaum Syiah dan Sunni, namun kali ini dimenangkan oleh kaum Sunni sehinga sultan-sultan berikutnya berasal dari golongan Sunni.

Pertikaian antara kaum Sunni dan Syiah berakhir ketika Kerajaan Perlak dikalahkan oleh Kerajaan Sriwijaya. Keadaan perang mempersatukan kedua kaum yang dulu bertikai untuk kembali merebut kedaulatan dan mendudukkan Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim sebagai sultan di Kesultanan Perlak. Di awal abad VIII, Kerajaan Perlak berkembang sebagai kota perdagangan yang sangat maju. Ini diikuti dengan maraknya perkawinan campuran antara para saudagar muslim dengan penduduk setempat. Sebagai dampak langsungnya adalah pesatnya perkembangan Islam di Indonesia.

Di masa Kerajaan Perlak, dilakukan politik persahabatan dengan negeri-negeri tetangga. Sultan Perlak ke-17, Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin, menikahkah dua orang puterinya dengan para pemimpin kerajaan tetangga. Mereka dinikahkan dengan Raja Kerajaan Malaka dan Raja Kerajaan Samudera Pasai. Perkawinan dimaksud memiliki nilai penting dalam penyebaran Islam di Sumatera dan Semenanjung Tanah Melayu, sekaligus penyatuan Kerajaan Islam Perlak ke dalam Kerajaan Islam Samudera Pasai. Kesultanan Perlak berakhir setelah Sultan ke-18, Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Azis meninggal pada tahun 1292. Kerajaan Perlak kemudian bersatu dengan Kerajaan Samudera Pasai di bawah kekuasaan Sultan Samudera Pasai yang memerintah pada saat itu, Sultan Muhammad Malik Al Zahir.

Beberapa bukti sejarah yang menerangkan tentang keberadaan Kerajaan Perlak, antara lain:

  1. Mata Uang
    Mata uang Perlak terdiri dari emas, perak, dan tembaga. Adanya peninggalan mata uang ini menunjukkan bahwa Kerajaan Perlak merupakan kerajaan yang telah maju.
  2. Stempel Kerajaan
    Stempel kerajaan bertuliskan kalimat “Al Wasiq Billah Kerajaan Negeri Bendahara Sanah 512”. Kerajaan Negeri Bendahara adalah bagian dari Kerajaan Perlak.
  3. Makam Raja
    Ditemukan makam salah seorang Raja Benoa di tepi Sungai Trenggulon. Batu nisan makam tersebut bertuliskan huruf Arab. Benoa adalah bagian dari Kerajaan Perlak.

Rangkuman

  • Kerajaan Perlak adalah Kerajaan Islam pertama di Indonesia.
  • Berdiri pada tahun 840-1292, Kerajaan Perlak berkembang lebih dahulu daripada Kerajaan Samudera Pasai yang sama-sama berlokasi di Aceh.
  • Raja pertama Kerajaan Perlak adalah Sultan Alaidi Syed Maulana Abdul Azis Syah.
  • Kesultanan Perlak berakhir setelah Sultan ke-18, Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Azis meninggal pada tahun 1292.

Kerajaan Samudera Pasai

Berada di utara Pulau Sumatera, Kerajaan Samudera Pasai adalah salah satu dari kerajaan Islam terbesar di Nusantara. Bagaimanakah keberadaan Kerajaan Samudera Pasai? Bagaimanakah kehidupan masyarakat Kerajaan Samudera Pasai? Berikut penjelasannya.

Setelah mempelajari bahasan ini, kalian akan mengetahui sejarah keberadaan Kerajaan Samudera Pasai.

Salah satu kerajaan Islam di Indonesia yang berkembang dengan pesat adalah kerajaan Samudera Pasai. Terletak di utara Pulau Sumatera, daerah ini adalah yang pertama kali disinggahi oleh saudagar-saudagar Islam yang datang dari Arab, Mesir, Persia, dan Gujarat. Kedatangan para saudagar tersebut adalah untuk melakukan perdagangan di daerah Sumatera, sekaligus menyebarluaskan ajaran Islam di wilayah yang disinggahinya.

Kerajaan Samudera Pasai didirikan oleh Nizamudin Al-Kamil pada tahun 1267. Al-Kamil merupakan Laksamana Angkatan Laut dari Mesir sewaktu Dinasti Fatimiyah berkuasa. Ia ditugaskan untuk merebut wilayah pelabuhan di Gujarat pada tahun 1238. Setelah melaksanakan tugasnya, Al-Kamil mendirikan Kerajaan Samudera Pasai untuk menguasai perdagangan lada di wilayah Sumatera. Kerajaan Samudera Pasai diyakini berpaham Islam Syiah karena Dinasti Fatimiyah di Mesir saat itu beraliran Syiah. Runtuhnya Dinasti Fatimiyah di Mesir dan digantikan dengan Dinasti Mamuluk turut berpengaruh pada peralihan kekuasaan di Kerajaan Samudera Pasai. Dinasti Mamuluk mengambil alih Kerajaan Samudera Pasai sembari membersihkan pengaruh Syiah dan menguasai pasar untuk komoditi rempah-rempah.

Raja Samudera Pasai selanjutnya adalah Marah Silu, diberi gelar Malikul Saleh. Gelar tersebut sama dengan tokoh yang membangun Dinasti Mamuluk pertama kali di Mesir. Semasa pemerintahannya, Kerajaan Samudera Pasai berkembang menjadi pusat perdagangan rempah-rempah dan pengembangan agama Islam bermazhab Syafi’i. Pada masa ini, Kerajaan Samudera Pasai mendapatkan kunjungan dari Marco Polo yang singgah dalam perjalanannya dari Tiongkok menuju Persia.

Kehidupan politik masyarakat di masa Kerajaan Samudera Pasai diatur oleh lembaga negara dengan tugas yang sudah terperinci dengan baik. Negara juga memiliki angkatan perang laut dan darat yang kuat. Kehidupan ekonomi masyarakat bergantung kepada dunia pelayaran dan perdagangan, sedangkan komoditi dagang utama masyarakat adalah rempah-rempah, terutama lada.

Beberapa bukti kejayaan Kerajaan Samudera Pasai, di antaranya:

  1. Adanya mata uang yang diciptakan sendiri sebagai alat pembayaran. Mata uang ini terbuat dari emas dan dinamakan dirham.
  2. Ekspor lada ke beberapa negara Asia dengan jumlah besar setiap tahunnya.
  3. Hubungan dagang yang luas dan baik dengan kerajaan-kerajaan lain dan para pedagang di Pulau Jawa. Pedagang dari Pulau Jawa bahkan mendapatkan pembebasan pembayaran cukai untuk aktivitas di Pelabuhan Kerajaan Samudera Pasai.
  4. Perkembangan karya tulis dan sastra dengan memanfaatkan huruf Arab untuk menulis karya mereka dalam bahasa Melayu. Bahasa ini dikenal dengan bahasa Jawi dan hurufnya sebagai Arab Jawi.
  5. Hubungan diplomatik yang baik dengan negara tetangga. Pada masa pemerintahan Sultan Malik as-Shalih, disebutkan bahwa Cina meminta kepada Kerajaan Samudera Pasai untuk mengirimkan orang sebagai utusan untuk Kerajaan Cina. Selain itu, terjalin juga hubungan dengan berbagai negara di Timur Tengah. Salah satunya adalah Persia atau Iran.

Kerajaan Samudera Pasai mengalami kemunduran akibat beberapa permasalahan. Dari dalam kerajaan adalah akibat tidak adanya pemimpin yang kuat sepeninggal Sultan Malik At-Thahrir. Akibatnya, penyebaran agama Islam terhambat sehingga diambil alih oleh Kesultanan Aceh. Dari pihak luar, kemunduran disebabkan oleh:

  • Serangan Mahapahit (1339)
    Semasa Mahapatih Gajah Mada, Kerajaan Samudera Pasai adalah salah satu kerajaan besar di Sumatera yang menjadi misi penaklukan yang bermaksud menggabungkan seluruh Nusantara di bawah Kerajaan Majapahit. Mulanya, Gajah Mada mengirimkan armada perang ‘Ekspedisi Pamalayu’ untuk melakukan serangan di Aceh. Upaya penaklukan ini berlangsung dalam waktu yang lama dan seiring dengan kian meluasnya kekuasaan Kerajaan Majapahit di Selat Malaka, maka Kerajaan Samudera Pasai pun berhasil ditaklukkan.
  • Pendirian Bandar Malaka
    Samudera Pasai adalah salah satu kota perdagangan di Selat Malaka dengan tingkat kesibukan yang tinggi dari abad XIII hingga awal abad XVI. Namun, setelah berdirinya Kerajaan Malaka, kondisi perdagangan di Samudera Pasai menjadi sepi dikarenakan lebih strategisnya posisi Bandar Malaka.
  • Serangan Portugis
    Pasukan Portugis memanfaatkan situasi di Kerajaan Samudera Pasai yang sedang lemah karena banyaknya perpecahan yang terjadi.
  • Serangan dari Kesultanan Aceh
    Serangan Kesultanan Aceh dipimpin oleh Sultan Ali Mughayat Syah dan menjadi akhir dari keberadaan Kerajaan Samudera Pasai.

Rangkuman

  • Salah satu kerajaan Islam di Indonesia yang berkembang dengan pesat adalah kerajaan Samudera Pasai.
  • Kerajaan Samudera Pasai didirikan oleh Nizamudin Al-Kamil pada tahun 1267. Al-Kamil merupakan Laksamana Angkatan Laut dari Mesir sewaktu Dinasti Fatimiyah berkuasa.
  • Kerajaan Samudera Pasai mengalami kemunduran akibat beberapa permasalahan. Dari dalam kerajaan adalah akibat tidak adanya pemimpin yang kuat sepeninggal Sultan Malik At-Thahrir. Akibatnya, penyebaran agama Islam terhambat sehingga diambil alih oleh Kesultanan Aceh.

Kesultanan Aceh

Bagaimanakah proses penyatuan kerajaan-kerajaan bercorak Islam di Aceh dalam satu Kesultanan? Apakah hambatan yang dialami Kesultanan Aceh? Berikut penjelasannya

Setelah mempelajari bahasan ini, kalian akan mengetahui mengenai sejarah keberadaan Kesultanan Aceh.

Kesultanan Aceh didirikan oleh Sultan Ali Mughayat Syah pada tahun 1496. Kesultanan Aceh didirikan di wilayah Kerajaan Lamuri, kemudian berkembang seiring dengan penaklukan beberapa wilayah lainnya, seperti Daya, Pedir, Lidie, dan Nakur. Penaklukan terbesar adalah pada tahun 1524, yakni penyatuan wilayah dengan Kerajaan Samudera Pasai dan diikuti juga dengan Kerajaan Aru. Kesultanan Aceh terletak di utara Pulau Sumatera dengan ibukotanya, Kutaraja.

Di masa kejayaannya, Kesultanan Aceh memiliki komitmen untuk menentang imperialisme Eropa. Terutama, karena Kesultanan Aceh telah memilih ajaran Islam sebagai dasar dari pemerintahannya, sementara imperialisme Eropa selalu berkaitan dengan misi zending atau penyebaran agama Nasrani. Kesultanan Aceh telah memiliki sistem pendidikan militernya sendiri dan menjalin hubungan diplomatik dengan negara lain. Salah satu pemimpin Kesultanan Aceh di masa keemasannya adalah Sultan Iskandar Muda. Pada masa kepemimpinannya, Aceh berhasil memukul mundur tentara Portugis dari Selat Malaka pada tahun 1582. Kesultanan Aceh melakukan konfrontasi dengan Portugis saat berupaya memperluas wilayah Kesultanan di Selat Malaka dan Semenanjung Melayu.

Semasa kepemimpinan Sultan Alaudin Riayat Syah al Kahar, Kesultanan Aceh semakin berkembang menjadi kerajaan yang kuat dengan kekuatan angkatan perang besar. Hubungan diplomatik luar negeri dilakukan dengan negara Islam di Timur Tengah, yaitu Turki dan India. Sultan juga mengirimkan utusan ke Konstatinopel untuk meminta bantuan melawan kekuasaan kerajaan-kerajaan lain dalam upayanya melakukan ekspansi kekuasaan. Hal ini dapat dibuktikan melalui sumber sejarah pada La Grand Encyclopedie bahwa pada tahun 1582, bangsa Aceh sudah meluaskan pengaruhnya atas pulau-pulau Sunda (Sumatera, Jawa, Kalimantan) serta atas sebagian tanah Semenanjung Melayu. Kesultanan Aceh juga melakukan hubungan diplomatik dengan semua bangsa yang melayari Lautan Hindia.

Masyarakat di Kesultanan Aceh hidup dengan cara berdagang. Komoditas dagang utama Kesultanan Aceh adalah rempah-rempah dan emas. Hubungan yang baik dengan bangsa lain turut berpengaruh pada kemajuan kebudayaan rakyat Kesultanan. Masyarakat sudah mengenal hukum adat yang dilandasi ajaran Islam atau Hukum Adat Makuta Alam. Hukum tersebut mengatur pengangkatan Sultan agar selaras dengan hukum adat. Selain itu, dalam menjalankan kekuasaannya, Sultan mendapatkan pengawasan dari alim ulama, kadhi, dan dewan kehakiman. Mereka memberikan peringatan dan pertimbangan kepada Sultan terhadap pelanggaran adat dan hukum.

Adapun di dalam masyarakat, secara tidak sadar, telah berkembang sistem feodalisme dan pelapisan sosial. Sebagai contoh, adalah pembagian masyarakat atas kaum bangsawan sebagai pemegang kekuasaan dalam pemerintahan sipil yang disebut dengan Teuku dan kaum ulama yang memegang peranan dalam kegiatan keagamaan bergelar Tengku. Antara kedua golongan tersebut kerap terjadi persaingan, sehingga turut berdampak melemahkan Kesultanan Aceh.

Kemunduran Kesultanan Aceh berlangsung di tahun 1641, setelah meninggalnya Sultan Iskandar Tsani. Kemunduran disebabkan beberapa hal. Yang paling utama adalah semakin menguatnya kekuasaan Belanda di Pulau Sumatera dan Selat Malaka yang ditandai dengan jatuhnya Minangkabau, Siak, Tapanuli, dan Mandailing ke dalam jajahan Belanda. Hal lainnya adalah akibat terjadinya perebutan kekuasaan antara sesama pewaris tahta Kesultanan Aceh. Daerah kekuasaan Kesultanan Aceh juga secara perlahan melepaskan diri dari Kesultanan, seperti Johor, Pahang, Minangkabau dan Siak.

Kesultanan Aceh berdiri lebih kurang selama 4 abad, namun seiring dengan datangnya Belanda, muncul berbagai tipu muslihat untuk mengambil alih Kesultanan sebagai bagian dari jajahan. Traktat London pada tahun 1824 adalah salah satu legitimasi dari Belanda untuk mengambil alih seluruh wilayah kekuasaan Inggris di di Pulau Sumatera.

Rangkuman

  • Kesultanan Aceh didirikan oleh Sultan Ali Mughayat Syah pada tahun 1496. Kesultanan Aceh didirikan di wilayah Kerajaan Lamuri, kemudian berkembang seiring dengan penaklukan beberapa wilayah lainnya, seperti Daya, Pedir, Lidie, dan Nakur.
  • Kemunduran Kesultanan Aceh berlangsung di tahun 1641, setelah meninggalnya Sultan Iskandar Tsani. Kemunduran disebabkan beberapa hal.

Kerajaan Demak

Apakah corak agama yang mempengaruhi Kerajaan Demak? Bagaimanakah hubungan yang dimiliki Kerajaan Demak dengan Kerajaan Majapahit? Berikut penjelasannya.

Setelah mempelajari bahasan ini, kalian akan mengetahui sejarah keberadaan Kerajaan Demak.

Kerajaan Demak adalah kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa yang didirikan oleh Raden Patah pada tahun 1478. Raden Patah diketahui sebagai bangsawan Kerajaan Majapahit yang diberi jabatan sebagai Adipati di Demak. Kerajaan Demak mendapat peneguhan dari Wali Songo yang secara langsung menyepakati dan menobatkan Raden Patah sebagai Sultan Demak pertama. Pasca penobatan sebagai Sultan, Raden Patah dengan bantuan dari pimpinan daerah-daerah lain yang telah terlebih dahulu menganut Islam seperti Jepara, Tuban, dan Gresik, memutuskan ikatan dengan Kerajaan Majapahit.

Terletak di tepi pantai utara Pulau Jawa, Kerajaan Demak adalah kerajaan pertama yang menjalankan pemerintahannya berdasarkan ajaran Islam. Di bawah pemerintahan Raden Patah, Kerajaan Demak memperluas daerah kekuasaannya dengan menaklukkan kerajaan-kerajaan lain di pesisir Pulau Jawa, seperti Lasem, Tuban, Sedayu, Gresik, Cirebon, dan Banten. Salah satu landmark dari Kerajaan Demak saat itu adalah Mesjid Agung Demak, yang menjadi lokasi para Wali Songo dan pimpinan Kerajaan Demak mengadakan pertemuan untuk membahas perluasan kekuasaan dan kegiatan dakwah Islam ke seluruh Pulau Jawa.

Beberapa raja yang pernah memerintah di Kerajaan Demak dan membawa kejayaan, antara lain:

  1. Raden Patah
    Raden Patah atau dikenal dengan nama Pangeran Jimbun adalah keturunan terakhir dari raja terakhir Majapahit. Raden Patah mendalami Islam setelah mendapatkan kunjungan dari utusan Kaisar Cina, Laksamana Cheng Ho, yang dikenal sebagai seorang panglima beragama Islam. Beliau mendalami ajaran Islam bersama dengan pemuda lainnya, seperti Raden Paku (Sunan Giri), Makhdum Ibrahim (Sunan Bonang), dan Raden Kosim (Sunan Drajat). Setelah dianggap mampu mengamalkan ajaran Islam, Raden Patah dipercayai untuk menetap di daerah Bintara, yang direncanakan oleh Wali Songo sebagai pusat kerajaan Islam di Jawa. Memerintah di kurun waktu 1500-1518, Raden Patah membentuk Demak sebagai kerajaan agraris-maritim. Pada masa pemerintahannya, dilakukan penaklukan terhadap Kerajaan Majapahit dengan memindahkan seluruh benda upacara dan pusaka Kerajaan Majapahit ke Demak. Kerajaan Demak di bawah Raden Patah menjalin hubungan yang baik dengan Kerajaan Malaka, namun hubungan terputus ketika Malaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511.
  2. Adipati Unus
    Memerintah setelah wafatnya Raden Patah pada kurun waktu 1518-1521, Adipati Unus adalah pemimpin yang ditugasi Raden Patah untuk melakukan serangan terhadap Portugis yang menguasai Kerajaan Malaka. Masa pemerintahan Adipati Unus tidak berlangsung lama, karena ia lantas meninggal dalam usia yang relatif muda.
  3. Sultan Trenggana
    Memerintah Kerajaan Demak pada kurun waktu 1521-1546, ia berhasil membawa Kerajaan Demak mencapai puncak kejayaan. Bukti utama adalah perluasan daerah kekuasaan Kerajaan Demak hingga ke daerah Jawa Barat di bawah pimpinan Fatahillah. Daerah yang berhasil dikuasai, antara lain, Banten, Sunda Kelapa, dan Cirebon. Serangan yang dilakukan ke Jawa Barat lebih kepada upaya untuk menggagalkan hubungan yang ingin dijalin Portugis dengan Kerajaan Padjajaran.

Kerajaan Demak mengalami kemunduran pasca wafatnya Sultan Trenggana karena munculnya perang perebutan kekuasaan di antara para ahli waris untuk merebut tahta. Perang saudara berakhir setelah naiknya Jaka Tingkir sebagai Raja dan penobatannya dilakukan oleh Sunan Giri. Setelah menjadi Raja, Jaka Tingkir diberi gelar Sultan Handiwijaya dan memindahkan pusat pemerintahan Kerajaan Demak ke Pajang pada tahun 1568.

Rangkuman

  • Kerajaan Demak adalah kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa yang didirikan oleh Raden Patah pada tahun 1478. Raden Patah diketahui sebagai bangsawan Kerajaan Majapahit yang diberi jabatan sebagai Adipati di Demak.
  • Kerajaan Demak mengalami kemunduran pasca wafatnya Sultan Trenggana karena munculnya perang perebutan kekuasaan di antara para ahli waris untuk merebut tahta.

Kerajaan Mataram Islam

Bagaimanakah proses berdirinya Kerajaan Mataram di Yogyakarta? Bagaimanakah perjalanan Kerajaan Mataram hingga mencapai puncak kejayaah? Apakah faktor di balik kemunduran Kerajaan Mataram? Berikut penjelasannya.

Setelah mempelajari bahasan ini, kalian akan mengetahui sejarah keberadaan Kerajaan Mataram Islam.

Kerajaan Mataram didirikan pada tahun 1582 di Kotagede yang terletak di sebelah tenggara Yogyakarta. Kerajaan Mataram dinilai memiliki peran yang luas terhadap perkembangan kerajaan-kerajaan Islam lainnya di Nusantara. Kerajaan Mataram bermula dari sebuah wilayah yang menjadi bagian dari kekuasaan Kesultanan Pajang. Geliat untuk membuka wilayah kerajaan baru bermula setelah diserahkannya Mataram kepada Ki Ageng Pamanahan oleh penguasa Kesultanan Pajang saat itu, Arya Penangsang. Ki Ageng Pamanahan kemudian membangun pemukiman baru di wilayah, namun mendapat tanggapan yang kurang bersahabat dari penguasa setempat. Reaksi tersebut tidak menyurutkan tekad Ki Ageng Pamanahan yang tetap melanjutkan pembangunan di daerah tersebut, sembari mempersiapkan strategi untuk menundukkan para penguasa yang menentang kehadiran Mataram.

Pada tahun 1575, sepeninggal Ki Ageng Pamanahan, cita-cita untuk membuka wilayah baru dilanjutkan oleh putranya, Sutawijaya atau Pangeran Ngabehi Loring Pasar. Upaya ini menimbulkan peperangan antara Sutawijaya dan Kesultanan Pajang. Kekalahan Kesultanan Pajang dalam peperangan, melancarkan tekad Sutawijaya membentuk kerajaan baru di wilayah Kesultanan Pajang dengan nama Kerajaan Mataram. Sutawijaya mengangkat dirinya sebagai raja Mataram dengan gelar Panembahan Senopati Ing Alaga. Kerajaan mulai dibangun dan pusat pemerintahan dipindahkan ke Kotagede. Perluasan wilayah mulai dilakukan hingga mencapai Madiun, Kediri, Jipang, Pasuruan, dan Tuban. Penaklukan dilakukan untuk menjadikan Kerajaan Mataram sebagai pusat kebudayaan dan agama Islam, sekaligus pelanjut cita-cita Kesultanan Demak.

Kejayaan Kerajaan Mataram berlangsung di bawah kepemimpinan rajanya yang ketiga, Pangeran Jatmiko yang diberi gelar Sultan Agung Hanyakrakusuma. Pada masa pemerintahannya, pusat pemerintahan Kerajaan Mataram berada di Yogyakarta. Kekuatan militer Mataram berkembang menjadi sangat kuat, seiring dengan penaklukan wilayah-wilayah lain di Pulau Jawa, seperti Kediri, Pasuruan, Lumajang, dan Malang. Pada tahun 1615, Kerajaan Mataram berhasil menundukkan seluruh daerah Jawa Timur. Di akhir tahun 1627, Kerajaan Mataram telah berhasil menguasai seluruh Pulau Jawa, kecuali Kesultanan Banten dan Batavia yang berada di bawah kekuasaan VOC.

Menganggap kekuatan militernya sudah cukup untuk menginvasi wilayah kekuasaan VOC, Sultan Agung Hanyakrakusuma mempersiapkan pasukan di bawah pimpinan Tumenggung Bahureksa dan Tumenggung Sura Agul-Agul untuk mengepung Batavia tahun 1628. Penyerbuan yang dilakukan mengalami kegagagalan, bahkan Tumenggung Bahureksa gugur dalam pertempuran. Pada tahun 1629, serangan kembali dilakukan oleh pasukan Mataram dengan dipimpin Ki Ageng Juminah, Ki Ageng Purbaya, dan Ki Ageng Puger. Serangan ditujukan kepada benteng Belanda, Hollandia, Bommel, dan Weesp, namun serangan berhasil dipatahkan oleh pasukan Belanda.

Kegagalan dalam serangan yang dilakukan oleh Kerajaan Mataram, di antaranya, disebabkan oleh beberapa hal:

  • Jarak yang ditempuh pasukan Mataram terlalu jauh untuk mencapai Batavia sehingga mengurangi daya tahan prajurit ketika bertempur.
  • Kekurangan logistik dan persenjataan.
  • Tidak adanya kerja sama dengan Kerajaan Banten sebagai kerajaan terdekat di Batavia untuk merancang rencana penyerbuan ke wilayah kekuasaan Belanda.
  • Batalnya bantuan militer dari Portugis untuk menghadapi Belanda.

Pasca kegagalan serangan militer kedua Mataram untuk merebut Batavia, kerajaan mengalami kemunduran karena kekurangan pasukan untuk menjaga wilayah kekuasaan yang ada. Akibatnya, satu demi satu wilayah Mataram memisahkan diri. Kerajaan Mataram memiliki sejumlah peninggalan budaya yang masih dapat dijumpai hingga kini, antara lain:

  1. Kebudayaan Kejawen, yakni bentuk akulturasi dari kebudayaan asli Jawa dengan ajaran Islam. Beberapa upacara adat Jawa yang semula adalah bentuk pemujaan berubah menjadi ritual dengan menggunakan doa-doa sesuai ajaran Islam.
  2. Perhitungan Tarikh Jawa, yaitu sistem perhitungan tahun berdasarkan adat Jawa yang disusun oleh Sultan Agung Hanyakrakusuma.
  3. Perkembangan Kesusastraan Jawa, yang terjadi pada masa kepemimpinan Sultan Agung Hanyakrakusuma. Beliau bahkan mengarang kitab berjudul Sastra Gending yang berisi filsafat kehidupan dan kenegaraan.

Rangkuman

  • Kerajaan Mataram didirikan pada tahun 1582 di Kotagede yang terletak di sebelah tenggara Yogyakarta. Kerajaan Mataram dinilai memiliki peran yang luas terhadap perkembangan kerajaan-kerajaan Islam lainnya di Nusantara.
  • Kejayaan Kerajaan Mataram berlangsung di bawah kepemimpinan rajanya yang ketiga, Pangeran Jatmiko yang diberi gelar Sultan Agung Hanyakrakusuma.

Kerajaan Banten

Bagaimanakah asal mula berdirinya Kerajaan Banten? Bagaimanakah perjuangan Kerajaan Banten terhadap cengkraman VOC? Berikut penjelasannya.

Setelah mempelajari bahasan ini, kalian akan mengetahui sejarah keberadaan Kerajaan Banten.

Kerajaan Banten adalah salah satu kerajaan Islam yang berada di wilayah Nusantara. Kerajaan Banten didirikan oleh Syarif Hidayatullah, yang kelak dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati. Bermula dari daerah di wilayah kekuasaan Kerajaan Padjajaran, Syarif Hidayatullah melakukan perebutan kekuasaan pada tahun 1526 untuk menguasai bagian barat pantai Jawa, sekaligus menundukkan Kerajaan Padjajaran. Penaklukan Kerajaan Padjajaran dilakukan setelah adanya penolakan dari penguasa atas penyebaran agama Islam di wilayah kerajaan. Penaklukan dipimpin oleh Syarif Hidayatullah, bersama pasukan Kerajaan Demak dan Kerajaan Cirebon.

Setelah jatuhnya Kerajaan Padjajaran dan Pelabuhan Sunda Kelapa, wilayah Banten masih tetap menjadi bagian dari kekuasaan Kerajaan Demak. Barulah ketika Sultan Hadiwijaya memimpin Demak, Banten berkembang menjadi kesultanan terpisah. Raja pertama Banten adalah putra dari Syarif Hidayatullah, yaitu Maulana Hasanuddin. Di masa pemerintahannya, agama Islam mendapatkan porsi persebaran yang sangat luas. Selain itu, dengan memanfaatkan Pelabuhan Sunda Kelapa, kegiatan perdagangan juga berkembang pesat. Kerajaan Banten tercatat memiliki hubungan baik dengan Kerajaan Indrapura di Sumatera, yang ditandai dengan pernikahan politik antara Maulana Hasanuddin dengan putri dari Raja Indrapura. Berangsur, Kerajaan Banten berhasil menaklukkan Kerajaan Padjajaran secara penuh di bawah pimpinan Maulana Yusuf, pasca penaklukan Pakuan pada tahun 1579.

Kerajaan Banten mengalami kekosongan kekuasaan, ketika pada tahun 1589, Raja Maulana Hasanuddin gugur dalam sebuah serangan ke Kerajaan Palembang. Kekosongan kekuasaan disiasati dengan pembentukan badan perwalian oleh Jayanegara dan Nyai Emban Rangkung. Pada masa ini, armada dagang Belanda tiba untuk pertama kalinya di kerajaan Banten dipimpin oleh Cornelis de Houtman.

Kedatangan armada Belanda (VOC) berusaha untuk diusir dari wilayah Kerajaan Banten pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa. Sadar dengan keterbatasan kekuatan militer yang dimiliki jika melakukan konfrontasi, maka Sultan memerintahkan perampokan dan perusakan perkebunan Belanda untuk melemahkan perdagangan Belanda. Semasa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa, Kerajaan Banten mengalami perkembangan pesat sebagai salah satu kerajaan Islam terbesar di Nusantara.

Beberapa kebijakan yang diambil oleh Sultan semasa pemerintahannya, antara lain:

  1. Memajukan perdagangan Banten dengan memperluas daerah kekuasaan kerajaan.
  2. Menjadikan Banten sebagai bandar internasional dengan Pelabuhan Sunda Kelapa sebagai bandar perdagangan utama.
  3. Modernisasi bangunan istana dengan arsitek Lukas Cardeel.
  4. Membangun armada laut.

Pada tahun 1671, Sultan Ageng Tirtayasa mengangkat putra mahkotanya, Sultan Abdul Kahar atau Sultan Haji sebagai Raja Muda. Sultan Haji berperan menjalankan kebijakan pemerintahan sehari-hari di bawah pengawasan Sultan Ageng Tirtayasa. Sayangnya, wewenang yang dimiliki ini malah mendekatkan hubungan Sultan Haji dengan Belanda (VOC). Dengan kedekatan yang dimiliki, VOC mulai mengambil peran dalam pemerintahan Kerajaan Banten. Beberapa keputusan yang dikeluarkan oleh pemerintahan Sultan Haji kerap dipengaruhi oleh VOC. Hal ini kemudian menimbulkan perpecahan di internal kerajaan Banten, setelah Sultan Ageng Tirtayasa berniat mencabut mandat kekuasaan dari Sultan Haji yang dinilai telah menyimpang dari tujuan perjuangan awal dan melantik Pangeran Purbaya, putra keduanya, sebagai putra mahkota.

Tindakan tersebut ditentang oleh Sultan Haji yang mendapat dukungan dari Belanda setelah menandatangani perjanjian pada tahun 1682 yang mengatur beberapa hal, seperti:

  • Belanda mengakui Sultan Haji sebagai Sultan Kerajaan Banten.
  • Banten harus melepaskan tuntutannya atas Cirebon dan tidak boleh melakukan perdagangan di daerah Maluku.

Pada tahun 1683, atas bantuan dari pihak Belanda, Sultan Ageng Tirtayasa berhasil ditangkap dan dipenjarakan di Batavia. Sultan wafat pada tahun 1692, sekaligus menjadikan Kerajaan Banten sebagai wilayah kekuasaan Belanda. Pangeran Purbaya sendiri berhasil meloloskan diri sebelum kemudian tertangkap oleh Untung Suropati, seorang utusan Belanda, pada tahun 1689.

Rangkuman

  • Kerajaan Banten adalah salah satu kerajaan Islam yang berada di wilayah Nusantara. Kerajaan Banten didirikan oleh Syarif Hidayatullah, yang kelak dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati.
  • Semasa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa, Kerajaan Banten mengalami perkembangan pesat sebagai salah satu kerajaan Islam terbesar di Nusantara.

Kerajaan Ternate dan Tidore

Kerajaan Ternate dan Tidore adalah dua dari empat kerajaan besar yang berdiri di Kepulauan Maluku. Bagaimanakah keberadaan Kerajaan Ternate dan Tidore? Bagaimanakah campur tangan Portugis dan Spanyol terhadap pemerintahan Kerajaan Ternate dan Tidore? Berikut penjelasannya.

Setelah mempelajari bahasan ini, kalian akan mengetahui sejarah keberadaan Kerajaan Ternate dan Tidore di Maluku.

Kerajaan Ternate dan Tidore adalah dua dari empat kerajaan besar yang berdiri di Kepulauan Maluku, selain Kerajaan Jailolo serta Kerajaan Bacan. Keempat kerajaan ini berdiri pada abad XIV dan berasal dari satu keturunan, yakni Jafar Sardik, seorang berkebangsaan Arab yang diyakini sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW. Letak geografis Kerajaan Ternate dan Tidore berpengaruh pada posisinya dalam perdagangan dunia saat itu. Terlebih, Kepulauan Maluku dikenal sebagai daerah penghasil rempah-rempah terbesar. Hubungan dagang dengan sejumlah bangsa yang datang turut membantu persebaran agama Islam di daerah ini.

Di awal perkembangannya, Kerajaan Ternate dan Tidore terlibat pertempuran untuk memperebutkan wilayah. Hal ini dikarenakan dorongan dari bangsa asing yang masuk ke wilayah masing-masing. Portugis memilih untuk memihak Kerajaan Ternate, sementara Spanyol memihak Kerajaan Tidore. Perselisihan baru dapat terselesaikan atas campur tangan Paus dalam Perjanjian Saragosa yang mengatur bahwa bangsa Spanyol harus meninggalkan Maluku dan pindah ke Filipina, sementara Portugis tetap berada di Maluku.

Pendudukan Portugis sendiri tidak berlangsung dalam jangka waktu yang lama. Setelah pendirian Benteng Santo Paolo di Ternate, Portugis semakin sewenang-wenang memberlakukan monopoli dagang. Pada tahun 1575, lewat serangan yang disusun oleh Sultan Baabullah, Portugis berhasil dikalahkan dan diusir keluar Maluku.

Perkembangan Islam di Ternate dan Tidore telah berlangsung sejak abad XIII saat pusat perdagangan dunia berada di wilayah dimaksud. Saudagar-saudagar yang berasal dari Arab, India, dan Persia kerap datang untuk melakukan perdagangan sehingga akhirnya membentuk beberapa perkampungan pedagang yang memungkinkan mereka melakukan syiar Islam di Maluku, terutama Ternate dan Tidore.

Kerajaan Ternate

Ibukota Kerajaan Ternate terletak di Sampalu (Pulau Ternate). Raja Ternate yang pertama adalah Sultan Marhum, yang kemudian digantikan oleh putranya, Zainal Abidin. Pada masa pemerintahannya, Zainal Abidin giat menyebarkan agama Islam ke pulau-pulau sekitar, bahkan hingga ke Filipina Selatan. Zainal Abidin memerintah hingga tahun 1500 M. Setelah ia mangkat, pemerintahan di Ternate berturut-turut dipegang oleh Sultan Sirullah, Sultan Hairun, dan Sultan Baabullah. Pada masa pemerintahan Sultan Baabullah, Kerajaan Ternate mengalami puncak kejayaan. Wilayah Kerajaan Ternate meliputi Mindanao, seluruh kepulauan di Maluku, Papua, dan Timor. Bersamaan dengan itu, agama Islam juga tersebar sangat luas.

Sebagai kerajaan yang bercorak Islam, masyarakat Ternate dalam kehidupan sehari-harinya banyak menggunakan hukum Islam. Hal itu dapat dilihat pada saat Sultan Hairun dari Ternate, bersama De Mesquita yang mewakili Portugis, melakukan perdamaian dengan mengangkat sumpah di bawah Kitab Suci Al-Qur’an.

Kerajaan Tidore

Kerajaan Tidore terletak di sebelah selatan Ternate. Raja Ternate pertama adalah Muhammad Naqal yang naik tahta pada tahun 1081. Agama Islam masuk ke Kerajaan Tidore dibawa oleh Ciriliyah, Raja Tidore yang kesembilan. Ciriliyah atau Sultan Jamaluddin bersedia masuk Islam berkat dakwah Syekh Mansur dari Arab.

Kerajaan Tidore mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintahan Sultan Nuku (1780-1805), yang dapat menyatukan Ternate dan Tidore untuk bersama-sama melawan Belanda yang dibantu Inggris. Belanda pun kemudian dapat diusir dari Tidore dan Ternate, sementara Inggris tidak mendapat apa-apa kecuali hubungan dagang biasa.

Rangkuman

  • Kerajaan Ternate dan Tidore berasal dari satu keturunan yang sama, yakni Jafar Sardik, seorang berkebangsaan Arab yang diyakini sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW.
  • Kedua kerajaan sempat berusaha diadu domba oleh Portugis dan Spanyol.
  • Persatuan Ternate-Tidore berlangsung ketika melakukan perlawanan untuk mengusir Belanda.

Kerajaan Gowa-Tallo

Bagaimanakah hubungan Kerajaan Gowa-Tallo di Makassar dengan Portugis? Bagaimanakah perjuangan Kerajaan Gowa-Tallo melawan monopoli VOC? Berikut penjelasannya.

Setelah mempelajari bahasan ini, kalian akan mengetahui sejarah keberadaan Kerajaan Gowa Tallo.

Kerajaan Gowa-Tallo adalah bagian dari sebuah kerajaan besar yang disebut Kerajaan Makassar dengan corak agama Islam. Sebelumnya, kerajaan yang terletak di bagian timur Nusantara ini bercorak Hindu, sama dengan beberapa kerajaan lain di wilayah tersebut, seperti Wajo, Bone, Soppeng, dan Luwu. Letak Kerajaan Gowa-Tallo cukup strategis sebagai penghubung pelayaran dari Selat Malaka dan Pulau Jawa ke daerah Maluku. Posisi pelabuhan di Makassar bahkan mampu mengambil alih peranan Kerajaan Mataram sebagai pelabuhan perdagangan di masa itu, ditambah dengan keahlian penduduk dalam membangun kapal besar, yaitu Phinisi dan Lambo.

Kerajaan-kerajaan di Makassar mulai membentuk persekutuan pada tahun 1528 dengan membentuk kerajaan baru yang disebut Kerajaan Makassar. Nama Makassar diambil dari ibukota Kerajaan Gowa dan sampai sekarang masih digunakan sebagai nama ibukota Provinsi Sulawesi Selatan. Kerajaan mulai mengenal agama Islam melalui dakwah dari Dato’ri Bandang dan Dato’ Sulaiman. Perlahan masyarakat mulai memeluk agama Islam dan mengubah corak kerajaan dari Hindu ke Islam.

Raja Makassar pertama yang memeluk agama Islam adalah Karaeng Ma’towaya Tumamenanga Ri Agamanna (Raja Gowa) dengan gelar Sultan Alaudin dan memerintah di Makassar pada tahun 1591-1638 dengan bantuan Daeng Manrabia (Raja Tallo) yang bergelar Sultan Abdullah. Sejak pemerintahan Sultan Alaudin, Kerajaan Makassar berkembang sebagai kerajaan maritim. Kerajaan Makassar mencapai puncaknya pada masa pemerintahan Sultan Hasanuddin (1653-1669). Di masa pemerintahannya, Makassar memperluas wilayah kekuasaan dengan menguasai daerah-daerah yang dapat membantu kepentingan perdagangan. Beberapa di antaranya adalah daerah Ruwu, Wajo, Soppeng, dan Bone, bahkan hingga Nusa Tenggara Barat.

Sultan Hasanuddin dikenal sebagai raja yang anti terhadap dominasi asing. Oleh karenanya, ia menolak monopoli yang berusaha dilakukan VOC di Makassar setelah melakukan strategi serupa di Maluku. Penolakan tersebut menimbulkan pertentangan antara Sultan Hasanuddin dengan VOC yang mengakibatkan perang di daerah Maluku. Perlawanan yang dilakukan oleh Sultan Hasanuddin dihadapi Belanda dengan mengadu domba Kerajaan Makassar dengan Kerajaan Bone di bawah pimpinan Aru Palaka. Dalam serangan berikutnya yang dilakukan, Belanda dapat menguasai ibukota Kerajaan Makassar, Benteng Borombong, dan ibukota Kerajaan Sombaopu.

Hal ini memaksa Sultan Hasanuddin menandatangani Perjanjian Bongaya pada tahun 1667 yang mengatur beberapa hal berikut:

  1. VOC memperoleh hak monopoli perdagangan di Makassar.
  2. Belanda dapat mendirikan benteng di Makassar.
  3. Kerajaan Makassar melepaskan daerah-daerah jajahannya, seperti Kerajaan Bone dan pulau-pulau lain di luar Makassar.
  4. Aru Palaka diakui sebagai Raja Bone.

Perjanjian Bongaya membawa dampak besar bagi Kerajaan Makassar karena mengakibatkan hilangnya kekuasaan dan wewenang Makassar untuk mengatur pelayaran dan perdagangan di daerahnya. Dalam tindakannya memperlemah Kerajaan Makassar, pasca Perjanjian Bongaya, Belanda menghancurkan Benteng Sombaopu dan menguasai Benteng Ujung Pandang dengan mengganti namanya menjadi Fort Rotterdam. Perlawanan yang dilakukan oleh putra Sultan Hasanuddin, Mapasomba, tidak dapat mengimbangi kekuatan militer Belanda.

Beberapa peninggalan sejarah yang dapat dijumpai dari Kerajaan Makassar, di antaranya:

  • Masjid Katangka, didirikan pada tahun 1605 dan menjadi bangunan mesjid tertua di wilayah Gowa.
  • Kompleks Makam Raja Gowa-Tallo, mulai digunakan sejak abad ke-17 hingga abad ke-19.
  • Fort Rotterdam, dinamai setelah pendudukan yang dilakukan Belanda atas Kerajaan Makassar. Sebelumnya bernama Benteng Ujung Pandang dan disempurnakan pembangunannya semasa pemerintahan Sultan Alaudin.

Rangkuman

  • Kerajaan Gowa-Tallo adalah bagian dari sebuah kerajaan besar yang disebut Kerajaan Makassar dengan corak agama Islam. Sebelumnya, kerajaan yang terletak di bagian timur Nusantara ini bercorak Hindu, sama dengan beberapa kerajaan lain di wilayah tersebut, seperti Wajo, Bone, Soppeng, dan Luwu.
  • Dalam serangan yang dilakukan, Belanda dapat menguasai ibukota Kerajaan Makassar, Benteng Borombong, dan ibukota Kerajaan Sombaopu. Hal ini memaksa Sultan Hasanuddin menandatangani Perjanjian Bongaya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *