Bentuk-Bentuk Integrasi Sosial
Bentuk-Bentuk Integrasi dan Reintegrasi Sosial – Secara umum, integrasi sosial dapat didefinisikan sebagai proses penyesuaian unsur-unsur yang berbeda dalam kelompok, sehingga menjadi satu kesatuan. Bagaimanakah bentuk-bentuk integrasi sosial? Berikut penjelasannya.
Setelah mempelajari bahasan ini, kalian diharapkan mampu memahami mengenai bentuk-bentuk integrasi sosial.
Mengenai bentuk-bentuk integrasi, dapat dikutip pendapat beberapa ahli :
Myron Weiner
Myron Weiner mengemukakan bahwa ada beberapa bentuk integrasi sosial, yakni:
- Integrasi nasional
Merujuk pada proses penyatuan berbagai kelompok budaya dan sosial ke dalam satu kesatuan wilayah. Selain itu, integrasi nasional juga mengindikasikan adanya pembentukan suatu identitas nasional. Lebih lanjut, R. William Liddle melihat bahwa ada dua masalah yang harus dihadapi untuk mewujudkan integrasi nasional, yaitu :
• Dimensi horizontal, yaitu masalah yang timbul karena adanya perbedaan suku, agama, ras, golongan, aliran, dan latar belakang lainnya.
• Dimensi vertikal, berupa masalah yang ditimbulkan oleh muncul dan berkembangnya semacam jurang pemisah (gap) antara golongan penguasa dengan rakyat biasa.
Liddle menambahkan, integrasi nasional yang tangguh hanya dapat berkembang jika:
• Sebagian besar anggota suatu masyarakat bersepakat mengenai batas-batas teritorial dari suatu negara dimana mereka menjadi warganya.
• Sebagian besar anggota suatu masyarakat bersepakat tentang struktur pemerintahan dan aturan-aturan menyangkut proses politik yang berlaku bagi seluruh warga negara. - Integrasi wilayah
Menunjuk pada adanya wewenang kekuasaan nasional pusat yang mempersatukan sejumlah wilayah yang mungkin beranggotakan kelompok-kelompok budaya atau sosial tertentu. - Integrasi elite-massa
Yakni upaya menjembatani kesenjangan dalam hubungan antara pemerintah dengan masyarakat. - Integrasi nilai
Yaitu adanya kesepakatan atau konsensus nilai yang diperlukan untuk memelihara tertib sosial dalam masyarakat. - Integrasi tingkah laku
Mengacu pada kemampuan dan kapasitas individu-individu dalam suatu masyarakat untuk berorganisasi demi mencapai tujuan bersama.
Paulus Wirutomo
Paulus Wirutomo (2012) membedakan integrasi sosial atas:
- Integrasi fungsional
Terbentuk karena adanya saling ketergantungan antar kelompok. Ini dimungkinkan akibat perbedaan fungsi di antara kelompok-kelompok tersebut, sehingga setiap kelompok tidak bisa memenuhi kebutuhannya sendiri. Tiap kelompok membutuhkan keberadaan kelompok lain.
Konsep integrasi fungsional, mengutip pendapat Emile Durkheim (1855-1917), lazim dijumpai pada masyarakat modern dimana telah terjadi diferensiasi atau pembagian kerja yang rumit sehingga integrasi terbentuk karena masing-masing individu maupun unit saling membutuhkan satu sama lain. - Integrasi normatif
Terbentuk karena adanya kesamaan nilai, prinsip, dan aturan antara berbagai kelompok. Selama kelompok-kelompok tersebut tetap berkomitmen terhadap nilai, prinsip, dan aturan dimaksud maka integrasi sosial akan senantiasa terpelihara. Di Indonesia, misalnya, integrasi diyakini terpelihara jika setiap warga negara tetap setia terhadap empat pilar kehidupan berbangsa serta bernegara (Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika).
Konsep integrasi normatif, mengutip pendapat Emile Durkheim (1855-1917), umumnya terdapat pada masyarakat tradisional dimana integrasi terwujud atas dasar kesamaan nilai-nilai dasar, termasuk yang bersifat primordial seperti suku, agama, budaya, atau pun ideologi tertentu. - Integrasi koersif
Terbentuk melalui paksaan oleh kelompok dominan. Dalam hal ini, kelompok dominan akan melakukan segala tindakan bersifat memaksa untuk mewujudkan integrasi. Perlu diingat bahwa integrasi seperti ini takkan bertahan lama, karena sifatnya semu. Contohnya, adalah integrasi yang dipaksakan oleh para penguasa terhadap rakyatnya dengan menggunakan kekuatan militer.
Konsep integrasi koersif relevan dengan pendapat Karl Marx (1818 – 1883) bahwa, dalam masyarakat kapitalis, integrasi terjadi karena adanya penggunaan kekuasaan (power, force) oleh kelas dominan atau kelas borjuis (pemilik modal) terhadap terhadap kelas proletar (buruh).
Reintegrasi
Integrasi adalah suatu usaha untuk membangun interdependensi (keterkaitan) yang lebih erat antara bagian-bagian atau unsur-unsur dari masyarakat. Bagaimanakah berlangsungnya reintegrasi sosial? Berikut penjelasannya.
Setelah mempelajari bahasan ini, kalian diharapkan mampu memahami mengenai berlangsungnya reintegrasi sosial.
Dalam perjalanannya, bangsa Indonesia telah berkali-kali mengalami masalah maupun konflik yang mengancam keutuhan integrasi sosial. Tak jarang intensitas konflik sedemikian tinggi sehingga berujung pelanggaran hak asasi manusia terhadap orang perseorangan atau kelompok yang menyebabkan penderitaan baik fisik, mental, juga emosional, kerugian ekonomi, atau pun pengabaian, pengurangan, maupun perampasan hak-hak dasarnya.
Gerakan separatisme yang menuntut pemisahan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia pun berulang menghadang, walau toh akhirnya dapat dicegah oleh komponen bangsa yang masih berpegang teguh pada komitmen awal untuk menyatu dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai wadah keberagaman. Namun, tak ayal memang dibutuhkan proses reintegrasi demi mengokohkan kembali keterpaduan antar unsur-unsur masyarakat. Reintegrasi menjadi keniscayaan guna memastikan tetap utuhnya bangsa dan negara tercinta menapaki kemajuan serta kegemilangan yang dicita-citakan bersama.
Untuk mendukung proses reintegrasi, ada beberapa hal yang dapat dilakukan, antara lain:
Memastikan Penyelesaian Konflik dan Pelanggaran Hak Asasi Secara Tuntas
Demi memastikan tiap konflik terselesaikan secara tuntas, Indonesia telah memiliki UU No. 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial. Dalam UU tersebut dinyatakan bahwa penanganan konflik haruslah mencerminkan asas kemanusiaan, hak asasi manusia, kebangsaan, kekeluargaan, ke-Bhinneka Tunggal Ika-an, keadilan, kesetaraan gender, ketertiban dan kepastian hukum, keberlanjutan, kearifan lokal, tanggung jawab negara, partisipatif, tidak memihak, serta tidak membeda-bedakan.
Adapun tujuan penanganan konflik ialah sebagai berikut :
- menciptakan kehidupan masyarakat yang aman, tenteram, damai, dan sejahtera;
- memelihara kondisi damai dan harmonis dalam hubungan sosial kemasyarakatan;
- meningkatkan tenggang rasa dan toleransi dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara;
- memelihara keberlangsungan fungsi pemerintahan;
- melindungi jiwa, harta benda, serta sarana dan prasarana umum;
- memberikan pelindungan dan pemenuhan hak korban; dan
- memulihkan kondisi fisik dan mental masyarakat serta sarana dan prasarana umum.
Dalam rangka reintegrasi sosial, penanganan konflik sejatinya perlu difokuskan pada upaya pemulihan pasca konflik, yakni serangkaian kegiatan untuk mengembalikan keadaan dan memperbaiki hubungan yang tidak harmonis dalam masyarakat akibat konflik. Sesuai amanat UU No. 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial, upaya pemulihan ini mencakup tiga aspek, yakni:
- Rekonsiliasi
Terdiri dari perundingan secara damai, pemberian restitusi (pengganti kerugian), dan pemaafan. - Rehabilitasi
Terdiri dari sejumlah kegiatan, yakni:
• pemulihan psikologis korban konflik dan pelindungan kelompok rentan;
• pemulihan kondisi sosial, ekonomi, budaya, keamanan, dan ketertiban;
• perbaikan dan pengembangan lingkungan dan/atau daerah perdamaian;
• penguatan relasi sosial yang adil untuk kesejahteraan masyarakat;
• penguatan kebijakan publik yang mendorong pembangunan lingkungan dan/atau daerah perdamaian berbasiskan hak masyarakat;
• pemulihan ekonomi dan hak keperdataan, serta peningkatan pelayanan pemerintahan;
• pemenuhan kebutuhan dasar spesifik perempuan, anak-anak, lanjut usia, dan kelompok orang yang berkebutuhan khusus;
• pemenuhan kebutuhan dan pelayanan kesehatan reproduksi bagi kelompok perempuan;
• peningkatan pelayanan kesehatan anak-anak; dan
• memfasilitasi serta melakukan mediasi pengembalian dan pemulihan aset korban konflik. - Rekonstruksi
Terdiri dari sejumlah kegiatan, yaitu:
• pemulihan dan peningkatan fungsi pelayanan publik di lingkungan dan/atau daerah pasca konflik;
• pemulihan dan penyediaan akses pendidikan, kesehatan, dan mata pencaharian;
• perbaikan sarana dan prasarana umum daerah konflik;
• perbaikan berbagai struktur dan kerangka kerja yang menyebabkan ketidaksetaraan dan ketidakadilan, termasuk kesenjangan ekonomi;
• perbaikan dan penyediaan fasilitas pelayanan pemenuhan kebutuhan dasar spesifik perempuan, anak-anak, lanjut usia, dan kelompok orang yang berkebutuhan khusus;
• perbaikan dan pemulihan tempat ibadah.
Sementara itu, untuk menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi akibat konflik masa lalu di luar pengadilan, mewujudkan perdamaian dan persatuan bangsa, serta memungkinkan rekonsiliasi dan reintegrasi dalam semangat saling pengertian, pemerintah juga membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) melalui UU No. 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.
Dalam pelaksanaan tugasnya, KKR berhak mengusulkan pemberian kompensasi (ganti kerugian yang diberikan oleh negara kepada korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya sesuai dengan kemampuan keuangan negara untuk memenuhi kebutuhan dasar, termasuk perawatan kesehatan fisik dan mental), restitusi (ganti kerugian yang diberikan oleh pelaku atau pihak ketiga kepada korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya), rehabilitasi (pemulihan harkat dan martabat seseorang yang menyangkut kehormatan, nama baik, jabatan, atau hak-hak lain), dan amnesti (pengampunan yang diberikan oleh Presiden kepada pelaku pelanggaran hak asasi manusia yang berat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat) sebagai bentuk penyelesaian.
Dialog dan Komunikasi intensif antar Unsur Masyarakat
Pelaksanaan dialog dan komunikasi intensif haruslah melibatkan seluruh unsur masyarakat, dengan tujuan untuk:
- Meningkatkan pemahaman terhadap karakter sosial masing-masing kelompok atau pun komunitas yang berbeda, sehingga memungkinkan semakin eratnya jalinan hubungan.
- Mengantisipasi tiap potensi konflik sehingga dapat dikelola dengan baik demi tetap terjaganya integrasi sosial masyarakat.
- Mengembangkan toleransi dan sikap saling menghargai keberagaman nilai serta norma sosial dalam masyarakat multikultural.
- Mengikis sikap saling curiga dan primordialisme yang berpotensi menjerumuskan kehidupan berbangsa dan bernegara dalam jurang perpecahan.
- Memberikan pemahaman mengenai pentingnya supremasi hukum, yakni mengedepankan penyelesaian masalah (konflik) berlandaskan peraturan perundang-undangan yang mengikat seluruh warga negara tanpa terkecuali.
- Merumuskan kembali konsep nasionalisme sesuai kondisi kekinian. Kepada kaum muda perlu ditanamkan kesadaran untuk mengembangkan kreativitas, inovasi, serta kemandirian sebagai wujud kecintaan terhadap tanah air. Selain itu, kaum muda juga harus dibiasakan untuk bergaul dengan sesama anak bangsa tanpa membeda-bedakan latar belakang apa pun.
Rangkuman
- Dalam perjalanannya, bangsa Indonesia telah berkali-kali mengalami masalah maupun konflik yang mengancam keutuhan integrasi sosial
- Namun, tak ayal memang dibutuhkan proses reintegrasi demi mengokohkan kembali keterpaduan antar unsur-unsur masyarakat.
- Mengenai bentuk-bentuk integrasi, dapat dikutip pendapat beberapa ahli, yakni Myron Weiner dan Paulus Wirutomo.